PAGE

Sabtu, 23 Maret 2013

tugas komunitas 3 : Komunikasi Terapeutik pada Lansia

Bab 2
Tinjauan Pustaka

2.1  Konsep Dasar Komunikasi
Kunci keberhasilan dari pemberian asuhan keperawatan dan pelayanan sosial lansia adalah kemampuan perawat sebagai pemberi asuhan dan pelayanan yang mampu melakukan komunikasi secara efektif dengan lansia. Komunikasi merupakan proses tercapainya kesamaan pengertian antara individu yang bertindak sebagai sumber (perawat atau pemberi asuhan) dan individu yang bertindak sebagai penerima asuhan (lansia). Kemampuan perawat dalam berkomunikasi meliputi kemampuan berbicara, mendengar, melihat dan kemampuan kognitif.
Kata komunikasi mempunyai bermacam – macam arti. Banyak ahli komunikasi mengemukakan definisi tentang komunikasi. Di sini hanya dikemukakan pengertian komunikasi yang cukup mudah di mengerti antara lain:
1.      Komunikasi adalah suatu ilmu dan seni penyampaian suatu pesan dari komunikator kepada komunikan, sehingga tercapai suatu pengertian bersama.
2.      Komunikasi adalah pertukaran informasi antara dua orang atau lebih, atau pertukaran ide, perasaan, dan pikiran (menurut Kozier & Erb, 1995).
3.      Komunikasi adalah proses pengoperan lambang – lambang yang memiliki arti di antara individu – individu (William Albig).
4.      Komunikasi adalah proses berbagi (sharing) informasi atau proses pembangkitan dan pengoperan arti (Taylor dkk.).
5.      Komunikasi adalah semua bentuk hubungan timbal balik dalam bentuk kata – kata, senyuman, anggukan kepala, sikap badan, kerlingan mata, dan lain – lain dari komunikator (perawat) kepada komunikan (lansia).

Suatu pesan atau ide baru yang diterima oleh setiap individu secara teori akan melalui beberapa tahap. Menurut Rogers ada 5 tahapan, yakni:
1.      Awareness, yaitu tahap ketika seseorang sadar/menyadari adanya suatu pesan yang disampaikan.
2.      Interest (perhatian), yaitu tahap ketika penerima pesan tertarik pada isi pesan yang disampaikan.
3.      Evaluation (evaluasi), yaitu tahap ketika penerima pesan mulai mengadakan penilaian keuntungan dan kerugian dari isi pesan yang disampaikan.
4.      Trial, yaitu tahap ketika penerima pesan mencoba mempraktikkan isi pesan yang diterima/didengarnya.
5.      Adoption, yaitu tahap ketika penerima pesan mempraktikkan dan melaksanakan isi pesan dalam kehidupan sehari – hari (telah dirasakan seperti “mendarah daging”).

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan:
1.      Kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih
2.      Bentuk pembagian ide atau pikiran dengan menggunakan lambang
3.      Memiliki tujuan berupa terjadi perubahan pada orang lain

2.2  Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah apabila dalam berkomunikasi dengan klien, perawat dapat menggambarkan jelas tentang kondisi klien yang sedang dirawat, mengenai tanda dan gejala serta keluhan. Gambaran terssbut dapat dijadikan acuan menentukan masalah keperawatan dan tindakan keperawatan yang tepat sasaran sehingga membantu mempercepat proses kesembuhan.
Menurut As Homby (1974) yang dikutip oleh Nurjannah, I (2001) mengatakan bahwa terapeutik merupakan  seni dari penyembuhan. Komunikasi efektif dan intensif dapat dicapai apabila ada hubungan take and give antara perawat dan klien menggambarkan hubungan memberi dan menerima. Komunikasi terapeutik juga bisa menjadi acuan  peningkatan mutu pelayanan kesehatan melalui bentuk ekspresi wajah, perkataan maupun perbuatan. Komunikasi terapeutik didahului dengan hubungan saling percaya antara perawat-klien. Selain itu, perawat harus mampu memberika jaminan atas kualitas pelayanan keperawatan agar klien tidak ragu, cemas, pesimis dan skeptis dalam menjalani proses pelayanan kesehatan.
Tidak jarang ditemukan klien menolak bila ditangani oleh salah satu perawat, karena klien ragu atas kemampuan yang dimiliki perawat. Perawat harus mampu menghilangkan keraguan dan kecemasan klien kalau ingin direspons oleh klien.
Rasa emosional yang tinggi akibat ketidak percayaan klien terhadap perawat mengakibatkan klien menarik diri dan tak mau berhubungan dengan perawat sehingga terjadi kebuntuan komunikasi. Menurut Stuart G.W (1998), komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara klien dan perawat. Melalui hubungan ini, perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien.

2.3  Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik sengaja dirancang agar hubugan perawat dan klien menjadi efektif dalam rangka mencapai kesembuhan. Untuk itu, Stuart & Sundeen dalam Nurjannah I (2001) mengemukakan tujuan komunikasi terapeutik sebagai berikut :
1.       Kesadaran diri, penerimaan diri, dan meningkatkan kehormatan diri
Untuk mencapai tujuan akhir dari proses pelayanan kesehatan terutama dalam pelayanan keperawatan adalah dengan memperpendek lama hari rawat. Perawat dank lien akan terlibat dalam hubungan yang intensif. Untuk itu, perawat harus melakukan eksplorasi diri atas kemampuan yang dimiliki dalam berkomunikasi dengan klien. Dalam melaksanakan komunikasi yang terapeutik, perawat harus memiliki kemampuan-kemampuan yang mumpuni dan memadai, serta teknik dan etika komunikasi yang baik. Dengan demikian, kehadiran perawat di sisi klien merupakan kehadiran yang bermakna dan membawa dampak yang positif bagi klien.
Perawat harus sadar dan menerima bahwa kehadirannya sangant dibutuhkan oleh klien untuk meringankan atau bahkan menghilangkan keluhannya sehingga harus mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh sebelum bertemu dengan klien. Integritas yang tinggi dari perawat akan mampu meyakinkan klien sehingga meningkatkan kehormatan perawat di mata klien. Klien menjadi sangat percaya dengan perawat, klien menjadi sadar bahwa perawat butuh data yang orisinil sesuai dengan keluhan yang dihadapinya dan mengutarakan dengan sungguh-sungguh keluhannya. Klien menjadi sadar bahwa hari ini dia menjadi pasien di rumah sakit, dimana untuk proses kesembuhannya diawali dengan memberikan keterangan yang sesuai dengan keluhan yang dihadapi. Klien mulai mempercayai bahwa apa yang dilakukan perawat merupakan tindakan yang akan membantu proses penyembuhan penyakit sehingga selalu kooperatif dalam berkomunikasi, apa yang diinginkan untuk terbebas dari keluhan yang dihadapi akan tercapai. Hal itu akan meningkatkan citra diri yang optimal dengan tetap menjaga kehormatan dirinya.

2.      Identitas pribadi yang jelas dan meningkatkannya integritas pribadi
Manusia dalam konteks diri pribadi membutuhkan pengakuan untuk menampakkan perwujudan diri. Pangakuan inilah yang akan mendorong manusia untuk menunjukkan identitas pribadi dan termasuk didalamnya adalah status dan peran yang jelas sehingga didapatkan peningkatan harga diri. Komunikasi terapeutik antara perawat dan klien mendorong keduanya saling memahami, menghargai dan mengetahui keperluan masing-masing. Perawat berusaha membantu meningkatkan harga diri dan martabat klien, sebaliknya klien mengakui dan menghargai perawat sebagai pelayanan keperawatan tanpa memandang sebelah mata atau meremehkan kemampuannya.

3.      Kemampuan untuk membentuk suatu keintiman, saling ketergantungan, hubungan interpersonal dengan kapasitas memberi dan menerima
Hubungan perawat dan klien merupakan hubungan dengan konsep simbiosis mutualisme, yang berarti hubungan saling menguntungkan antara klien dan perawat. Perawat dengan ikhlas memberikan pelayanan keperawatan kepada klien dengan tak terbagi, sedangkan klien dengan bebas mengutarakan keluhannya sesuai dengan apa yang dirasakan tanpa ada sesuatu yang mengganjal. Perawat dan klien tidak membawa ego masing-masing dan mengesampingkan adanya suatu perbedaan dan yang ada hanyalah perawat dank lien yang bekerja sama dalam membangun hubungan saling percaya dalam rangka menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi klien.
Perawat selalu mengedepankan kepentingan klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal melalui upaya peningkatan pelayanan keperawatan. Perawat merasa memberikan pelayanan keperawatan merupakan tanggung jawabnya baik merupakan tanggung jawab pribadi maupun tanggung jawab profesi. Selain itu, memberikan pelayanan keperawatan kepada klien merupakan upaya mengaplikasikan ilmunya sehingga menjadi ilmu yang bemanfaat bagi orang lain, serta sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu keperawatan dalam rangka perbaikan dan pengembangan ilmu keperawatan.
Kegiatan merawat orang sakit merupakan sandaran hidup bagi perawat dalam rangka menyongsong masa depan. Untuk mendapatkan pelayanan yang memuaskan dalam rangka menyelesaikan masalahnya, klien seharusnya mengutarakan keluhannya sesuai dengan apa yang dirasakan sehingga dapat dipakai sebagai acuan perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan. Perawat tidak bisa melakukan tindakan keperawatan kepada klien tanpa tahu apa yang dirasakan klien karena hal tersebut merupakan dasar dalam melakukan tindakan keperawatan.

2.4  Komunikasi Terapeutik Pada Lansia
Keperawatan adalah “Suatu bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual yang didasarkan pada pencapaian kebutuhan dasar manusia”. Asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien bersifat komprehensif, yang ditujukan kepada individu, kelompok, keluarga, dan masyarakat, baik dalam keadaan sehat atau sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
Gerontologi berasal dari kata geros yang berarti lanjut usia dan logos berarti ilmu. Jadi gerontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang lanjut usia dengan segala permasalahannya. Sedangkan gerontik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan lanjut usia dengan segala permasalahannya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
Komunikasi dalam keperawatan gerontik adalah komunikasi yang diaplikasikan dalam praktik asuhan keperawatan lansia. Komunikasi dengan lansia adalah suatu proses penyampaian pesan/gagasan dari perawat atau pemberi asuhan kepada lansia dan diperoleh tanggapan dari lansia, sehingga diperoleh kesepakatan bersama tentang isi pesan komunikasi. Tercapainya komunikasi berupa pesan yang disampaikan oleh komunikator (perawat) sama dengan pesan yang diterima oleh komunikan (lansia).
Komunikasi yang efektif dapat menimbulkan pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. Sementara ada yang berpendapat bahwa komunikasi adalah pertukaran pikiran atau keterangan dalam rangka menciptakan rasa saling mengerti dan saling percaya demi terwujudnya hubungan yang baik antara seseorang dengan orang lain. Komunikasi adalah pertukaran fakta, gagasan, opini emosi antara dua orang atau lebih.
Ciri hubungan atau komunikasi terapeutik adalah berpusat pada klien lansia; menghargai klien lansia sebagai individu yang unik dan bebas; meningkatkan kemampuan klien lansia untuk berpartisipasi dengan aktif dalam mengambil keputusan mengenai pengobatan dan perawatannya; menghargai keluarga, kebudayaan, kepercayaan, nilai-nilai hidup dan asasi dari klien lansia; menghargai privasi dan kerahasiaan hubungan pemberi asuhan atau perawat dengan klien lansia; dan saling percaya, menghargai dan saling menerima.
Hubungan membantu ini akan menjadi lebih efektif apabila ada rasa saling percaya dan saling menerima antara perawat atau pemberi asuhan dan klien lansia. Selain itu perawat sebagai pemberi asuhan dan harus menunjukkan rasa peduli pada kliennya (lansia) dan mau membatunya.
Seorang perawat atau pemberi asuhan yang mendengarkan klien lansia tidak saja memakai telinganya tetapi seluruh eksistensi dirinya. Perawat atau pemberi asuhan memfokuskan seluruh perhatiannya tidak hanya pada apa yang disampaikan lansia, tetapi bagaimana lansia itu menyampaikannya. Melalui sikap tubuh  dari perawat atau pemberi asuhan, lansia dapat merasakan apakah perawat atau pemberi asuhan siap dan berminat untuk mendengarnya.
1.      Kesiapan mendengar
Perawat atau pemberi asuhan harus dapat menunjukkan kesiapan mendengarkan klien lansia. Kesiapan ini ditunjukkan dengan:
a)      Duduk tegak, rileks, dan menghadap lansia secara muka dengan muka. Posisi ini menunjukkan “ Saya siap dan mau mendengarkan”.
b)      Mempertahankan kontak mata. Sebaiknya mata perawat sejajar dengan mata klien lansia, tempat duduk perawat tidak lebih tinggi dari tempat duduk lansia. Kontak mata harus spontan dan wajar.
c)      Tubuh perawat sedikit membungkuk atau sikap menghormat ke arah lansia. Biasanya secara spontan tubuh seseorang langsung bergerak sedikit mendekat pada lansia yang sedang bicara bila ia ingin mendengarkan dengan baik apa yang disampaikannya.
d)     Mempertahankan sikap tubuh yang terbuka. Hindari duduk dengan kedua kaki atau tangan bersilang, karena semacam menunjukkan sikap defensive. Posisi tubuh perawat harus menunjukkanbahwa dirinya bersedia menerima dan membantu, seperti pintu yang terbuka yang mengundang orang untuk masuk tanpa mengetuk.
e)      Mempertahankan posisi tubuh yang rileks. Memang sulit untuk mempertahankan posisi tubuh yang rileks penuh karena mendengarkan dengan seluruh “dirinya” perawat sudah mengeluarkan banyak tenaga. Akan tetapi, suara tegang dapat dicegah dengan memberi sedikit waktu sebelum perawat memberi tanggapannya, member waktu untuk berdiam sejenak dan menggunakan isyarat yang tepat dan membantu.


2.5  Tahap-Tahap Komunikasi Terapeutik
Hubungan terapeutik memiliki tahapan yang meliputi tahap pra-interaksi, pengenalan, tahap kerja dan terminal.
a)      Tahap I ( pra-interaksi)
Pada tahap ini perawat sudah memiliki beberapa informasi tentang klien lansia, seperti nama, alamat, umur, jenis kelamin, riwayat kesehatan, dan lain-lain. Pertemuan pertama dengan lansia dapat membuat cemas perawat yang belum mempunyai pengalaman. Ada baiknya apabila perawat menyadari perasaan ini.
b)      Tahap II (pengenalan)
Perawat dan klien lansia saling mengenal dan mencoba menumbuhkan rasa percaya satu sama lain. Pada tahap pertemuan ini perawat mengusahakan untuk membuat klien lansia merasa nyaman dengan beberapa interaksi sosial seperti membicarakan tentang cuaca. Ada kemungkinan perawat melihat sikap penolakan dari lansia. Hal ini mungkin karena lansia belum siap untuk mengungkapkan dan  menghadapi masalahnya, ada rasa malu untuk mengakui bahwa lansia memerlukan bantuan, tidak siap mengubah pola tingkah laku yang menyebabkan masalah kesehatannya, dan lain sebagainya.
Kadang-kadang klien lansia juga ingin menguji ketulusan perawat yang membantunya. Di sini  perawat perlu menunjukkan sikap ketulusan dan kepedulian. Sebenarnya sikap perawat sangat menentukan apakah hubungannya dengan klien lansia terapeutis atau tidak.
Tahap pengenalan ini mempunyai tujuan menumbuhkan rasa percaya klien lansia kepada perawat :
a.       Lansia  dapat mellihat perawat sebagai seorang professional yang mampu membantunya.
b.      Lansia dapat melihat perawat sebagai individu yang  jujur, terbuka, dan peduli lansia.
c.       Lansia percaya bahwa perawat akan menghargai kerahasiaan hubungan mereka, nilai, keyakinan, sosio-kulutralnya.
d.      Lansia merasa aman dan nyaman dalam mengungkapkan perasaanya.

c)      Tahap III (kerja)
Pada tahap ini perawat dank lien lansia menemukan, menghargai dan menerima keunikannya masing-masing. Rasa peduli dan empati juga akan timbul. Perawat membantu klien lansia melihat secara mendalam perasaannya agar lansia dapat memperoleh “insight” tentang masalahnya.
Dengan memeriksa secara mendalam tentang perasaannya, komunikasi dapat diperlancar apabila perawat menunjukkan:
1.      Empati
Perawat akan mampu berempati dengan klien lansia bila mereka “merasakan” apa yang dialami lansia. Semua teknik komunikasi yang dipakai akan terjadi kaku, tidak spontan dan tidak genume, tetapi “ sharing” tentang kesulitan klien lansia akan membuat perawat menjadi  spontan dan tulus meresponnya dan sikap ini dapat dirasakan oleh lansia.
2.      Menghargai
Perawat perlu memiliki keyakinan tentang martabat setiap manusia, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik,ia adalah ciptaan Tuhan, dan cenderung menjadi manusia patut dihargai dan dicintai tanpa memperhatikan perbuatannya melainkan dirinya. Keyakinan ini akan membantu perawat menerima, mencintai dan menghargai lansia tanpa syarat.
3.      Genuiness
Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan disebut genuiness bila :
a.          Tidak bersembunyi dalam peran, status, tingkat pendidikannya, dan sebagainya.
b.         Bersikap spontan
c.          Tidak defensif, menerima, dan menanggapi kritikan dari lansia tanpa membalas atau mencari alasan untuk membernarkan diri.
d.         Konsisten dengan ekspresi wajah, nada suara, dan sikap tubuh sesuai dengan apa yang dirasakannya.
e.          Mampu membuka diri dan membagi pengalaman bila perlu.
4.      Konkret/ specific
Perawat perlu terampil dalam member pertanyaan terbuka. Melalui pertanyaan terbuka, perawat dapat membantu lansia yang cenderung berbicara secara umum menjadi lebih konkret dan spesifik.
5.      Konfrontasi
Konfirmasi bila perlu dipakai dengan hati-hati dan penuh pengertoan. Konfrontasi akan lebih mudah diterima lansia bila ia merasa bahwa ia dihargai dan diterima oleh perawat. Dengan konfrontasi, perawat menunjukkan kepada lansia ketidakcocokkan antara pikiran, kata-kata atau perbuatannya. Ketidakcocokan ini akan menghambat pemeriksaaan dan penyadaran diri. Penyangkalan terhadap perasaan dapat membuat lansia tidak mampu mengatur tingkah lakunya.

d)        Tahap IV (terminal)
Tahap ini dapat disertai bermacam-macam perasaan. Mungkin lansia merasa kehilangan sesuatu, measa bimbang tentang kemampuannya tanpa bantuan dari perawat, merasa ditinggalkan, dan lain sebagainya. Pada tahap ini, perawat perlu  mengungkapkan kesediannya membantu bila diperlukan agar klien lansia merasa aman.

2.6  Teknik Komunikasi Pada Lansia
Berikut adalah teknik komunikasi berdasarkan referensi dan Shives (1994), Stuart & Suddeen (1950), dan Wilson & Kneisl (1920).
Mendengarkan dengan penuh perhatian
kesan pertama ketika perawat mau mendengarkan keluhan klien dengan seksama adalah perawat akan memperhatikan klien. Dengan demikian, kepercayaan klien terhadap kapasitas dan kemampuan perawat akan terjaga. Mendengar keluhan klien dengan penuh perhatian akan menciptakan kondisi keterlibatan emosional yang maksimal dalam situasi hubungan interpersonal antara klien dan perawat.
Menurut Varcarolis dalam nurjannah I (2001), dengan mendengarkan akan menciptakan situasi interpersonal dalam keterlibatan maksimal yang dianggap aman dan membuat klien merasa bebas. Pencapaian hasil untuk mendapatkan kondisi riil dari klien akan lebih maksimal dan memudahkan perawat dalam menentukan intervensi yang tepat. Untuk itu diperlukan konsentrasi yang maksimal dan terlibat secara aktif dalam memersepsikan pesan orang lain dengan menggunakan semua indra.
Klien yang didengarkan dalam pembicaraan merasa akan dihargai apabila perawat menganggap apa yang dikatakan oleh klien merupakan hal yang sangat penting sehingga menunculkan kesa “anda bernilai untuk saya dan saya tertarik pada anda”. Perangkat lain yang tidak kalah pentingnya dalam pencapaian keterlibatan maksimal dalam proses mendengarkan adalah dengan menunjukkan merespons klien dengan kode nonverbal melalui kontak mata, menganggukkan kepala, senyum saat yang benar dan merespons dengan kode verbal yang minimal, misalnya “Oooooo……., mmhumm, ya…,”. Berikut adalah beberapa sikap untuk menunjukkan cara mendengarkan penuh perhatian.
1.      Berusaha mendengarkan klien menyampaikan pesan nonverbal bahwa perawat perhatian terhadap kebutuhan dan masalah klien.
2.      Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan upaya untuk ,mengerti seluruh pesan verbal dan nonverbal yang sedang dikomunikasikan.
3.      Keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian adalah dengan memandang klien ketika sedang bicara.
4.      Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan.
5.      Sikap tubuh yang menunjukkan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau tangan.
6.      Hindarkan gerakan yang tiodak perlu.
7.      Anggukkan kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan balik.
8.      Condongkan tubuh kearah lawan bicara, bila perlu duduk atau minimal sejajar dengan klien.
9.      Meninggalkan emosi dan perasaan kita dengan cara menyisihkan perhatian, ketakutan, atau masalah yang sedang kita hadapi.
10.  Mendengarkan dan memperhatikan intonasi kata yamg diucapkan dan menggambarkan sesuatu yang berlebihan.
11.  Memperhatikan dan mendengarkan apa-apa yang tidak terucap oleh klien yang menggambarkan sesuatu yang sulit dan menyakitkan klien.






Menunjukkan Penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui,. Menerima pasti menyetujui, sedangkan menyetujui belum tentu menerima. Perilaku apa yamg dilakukan klien dan keluhan apa saja yang disampaikan klien merupakan masukan yang berharga bagi perawat, walaupun kadang apa yang diucapkan tidak sesuai dengan penyakit yang diderita atau tanda gejala masalah yang dihadapi klien. Perawat tidak perlu menampakkan penolakan maupun keraguan tehadap apa yang disampaikan klien yang membuat klien merasa tidak bebas dalam mengutarakannya. Unsure yang harus dihindari dalam menunjukkan penerimaan adalah mengubah pikiran klien. Sebaiknya tidak ada unsur menilai, berdebat, apalagi mengkritik. Apa yang disampaika klien merupakan suatu berharga bagi perawat. Bila perlu perawat selalu mendukung klien dalam mengutarakan keluhannya dengan menunjukkan perilaku ketertarikan.
Menurut Nurjannah, I (2001), penerimaan adalah mendukung dan menerima informasi dengan tingkah laku yang menunjukkan ketertarikan dan tidak menilai. Dengan sikapn tersebut perawat mampu menempatkan diri pada situasi klien, perawat mengerti perasaan yang dihadapi klien. Perawat sebaiknya menghindarkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menunjukkan tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggelengkan kepala seakan tidak percaya. Begitu juga dengan kata-kata “ah masak”, “apa benar”, “yang benar saja”, atau kata-kata lain yang menimbulkan kesan keraguan atau ketidakpercayaan. Berikut ini menunjukkan sikap perawat yang menunjukkan penerimaan.
1.      Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan.
2.      Memberikan umpan balik verbal yang menampilkan pengertian.
3.      Memastikan bahwa isyarat nonverbal cocok dengan komunikasi verbal.
4.      Menghindarkan untuk bedebat, mengekspresikan keraguan, atau mencoba untuk mengubah pikiran klien. Perawat dapat menganggukkan kepalanya atau berkata “ya”, “saya mengikuti apa yang anda ucapkan,”(cocok).

Menanyakan Pertanyaan yang Berkaitan dengan Pertanyaan Terbuka
Tujuan perawat bertanya dengan pertanyaan terbuka (broad opening) adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai kondisi riil dari klien dengan menggali penyebab klien mencari pertolongan atau penyebab klien datang ke tempat pelayanan kesehatan.
Petanyaan terbuka memberikan peluang maupun kesempatan klien untuk menyusun dan mengorganisir pikirannya dalam mengungkapkan keluhannya sesuai dengan apa yang dirasakan. Dalam pertanyaan terbuka, kesan klien dijadikan sebagai subjek dan bukan objek, artinya yang mendominasi interaksi justru dari klien dan bukan sebaliknya. Mari kita bandingkan kedua pertanyaan ini:
a.       “ ada apa di rumah sehingga ibu membawa anak ibu ke UGD?”
b.      “apakah anak ibu kejang sehingga ibu datng ke UGD?”

Pada pertanyaan poin (a) akan kita dapatkan lebih dari satu kalimat atau satu kata, karena pertanyaan itu sifatnya [ertanyaan terbuka yang memberikan peluang kepada ibu untuk menceritakan kejadian-kejadian yang dialami oleh anaknya selama di rumah. Beda dengan pertanmyaan (b) yang mempersempit gerak dan imajinasi ibu dalam mengungkapkan apa yang dialami anaknya sewaktu dirumah. Mungkin ibu akan menjawab dengan jawaban ya atau tidak saja (yes and no question) tanpa mampu mengembangkan tanda dan gejala yang ada pada anaknya. Kesannyab perawat yang mendominasi interaksi dan jawaban yang dihasilkan kemungkinan banyak yang bias karena tampak sekali perawat mendikte klien.
Untuk pertanyaan dengan jawaban yes and no question perawat dituntut untuk mampu mendalami topik yang akan dibicarakan, itupun hasinya akan samar karena dalam pengkajian keperawatan yang paling baik adalah pengkajian focus untuk mendapatkan masalah utama. Perawat harus menghindari pertanyaan yang bersifat Innapproppriate Quantity Question maupun Innapproppriate Quality Question. Ciri-ciri Innapproppriate Quantity Question adalah sebagai berikut.
1.      Pertanyaan terlalu banyak.
2.      Pertanyaan tidak terfokus pada maslah.
3.      Klien menjadi bingung menjawab.
Pertanyaan yang melebar melebar menjadikan klien enggan menanggapi, dan itu berisiko terhadap hubungan perawat-klien. Harus disadari oleh perawat bahwa data yang digali adalah data yang berhubungan dengan keluhann klien saja (data primer), sedangkan data pendamping (data sekunder) bisa disapatkan dengan cara lain, yaitu study documenter, observasi, maupun pemeriksaan fisik. Contonya: “bapak sakit apa?, kapan sakitnya? Di mana sakitnya?, diantar oleh siapa?, pakai kendaraan apa?, dan sebagainya. Sedangkan ciri-ciri pertanyaan Innapproppriate Quality Question adalah sebagai berikut.
1.      Pertanyaan yang memvonis klien.
2.      Fokus pada alasan klien berbuat.
3.      Ada unsure mengintimidasi dan menginterogasi.
4.      Pertanyaan yang sering menyinggung perasaan klien.
Pertanyaan yang berasifat Innapproppriate Quality Question sebenarnya merupakn pertanyaan yang singkat, padat, dan jelas, akan tetapi pertanyaan tersebut tidask memperhatikan sisi psikologis klien serta tidak berkualitas. Sering kita temukan kalau perawat menanyakan yang diawali dengan kenapa atau mengapa jawabannnya justru menyakitkan.
Contoh:
            P: “kenapa bapak datang ke rumah sakit ini?”
            K: “aku ini sakit, kalau tak sakit man mungkin ke rumah sakit?”
            Pertanyaan tersebut menambah rasa kecemasan klien karena perawat hanya memperhatikan kecemasan yang dialami akibat masalah yang dihadapinya.

Mengulang Ucapan Klien dengan Menggunakan Kata-kata Sendiri
Perawat harus berhati-hati ketika menggunakan metode ini, karena pengertian bisa rancu jika pengucapan ulang mempunyai arti yang berbeda. Untuk itu perlu adanya klarifikasi, validasi, maupun pengulangan kata yang disampaikan sesuai dengan maksud dan tujuan. Apabila tidak ada klarifikasi maupun validasi kata/pesan kemungkinan pesan yang disampaikan menjadi bias karena banyaknya noice disekelilingnya. Menurut Boyd & Nihart dalam nurjannah,I (2001), teknik ini menjadi tidak terapeutik bila perawat kurang melakukan validasi terhadap interpretasi pesan, menilai, dan meyakinkan serta bertahan.
           
Contoh:
            K: “saya tidak dapat tidur, sepanjang malam saya terjaga.
            P: “saudara mengalami kesulitan untuk tidur…”

Klarifikasi
Apabila terjadi kesalahpahaman, perawat perlu menghentikan pembicaraan untuk mengklarifikasi dengan menyamakan dengan pengertian, maksud, dan ruang limgkup pembicaraan Karena informasi sangat penting dalam memberikan pelayanan kepoerwatan. Geldard, D dalam suryani (2006) berpendapat bahwa klarifikasi (clarification) adalah menjelaskan kembali ide atau pikiran klien yang tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapannya. Ini berarti klerifikasi dapat diartikan sebagai upaya untuk mendapatkan persamaan persepsi antara klien dengan perawat tentang perasaan yang dihadapi dalam rangka memperjelas masalah untuk memfokuskan perhatian.
Klarifkasi identik dengan validasi yaitu menanyakan kepada klien terhadap apa yang belum dimengerti agar pesan yang disampaikan menjadi lebih jelas. Menurut Nurjannah, I (2001), klarifikasi dilakukan apabila pesan yang disampaikan oleh klien belum jelas bagi perawat dan perawat mencoba memahami situasi yang digambarkan klien. Namun demikian, agar pesan dapat sampai dengan benar, perawat perlu memberikan contoh yang konkret dan mudah dimengerti oleh klien dengan memperhatikan pokok pembicaraan. Demonstrasi terhadap apa yang telah dijelaskan merupakan bentuk klarifikasi terhadap apa yang telah diucapkan.
Contoh:
-          “saya tidak yakin mengikuti apa yang anda katakana”
-          “apa yang anda katakana tadi adalah anda tidak dapat mengikuti apa yang saya ucapkan.

Memfokuskan
Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan sehingga lebih spesifik dan dimengerti. Materi yang akan disampaikan ataupubn yang akan didiskusikan mengerucut pada salah satu masalah saja, yang penting adalah konsisten, dan kontinu atau berkesinambungan, serta tidak menyimpang dari topik pembicaraan dan tujuan komunikasi. Menurut Cangara, H (2004) prinsip continuity dan consistency dalam proses interaksi mengandung arti bahwa pesan yang disampaikan bersifat konsisten dan berkesinambungan dan tidak menyimpang dari topik dan tujuan komunikasi yang telah ditetapkan. Dalam talk show yang diadakan oleh salah satu stasiun televise, memperlihatkan bagaimana seorang Prof. Yusril Ihsa Mahendra yang marah besar ketika pembicaraan sedang serius, tetapi mahasiswa mengkritik kebiasaannya yang suka merokok dan beliau marah besar karenapertanyaan atau pernyataannya melenceng dari topik.
Suara yang terdapat disekeliling kita sering menjadi penyebab pembicaraan tidak terfokus karena terjadi pemutusan terhadap alur pembicaraan. Perawat tidak seharusnya memutus pembicaraan klien ketika menyampaikan masalah yang penting, kecuali pembicaraan berlanjut tanpa informasi yang baru. Kalau menyimpang perlu ada konsep kembali ke laptop seperti apa yang dilakukan Tukul Arwana di televise. Contoh: “ hal ini nampaknya penting, nanti kita bicarakan lebih dalam lagi.”

Menyampaikan Hasil Observasi
Perawat perlu memberiakn umpan balik kepada klien dengan menyatakan hasil pengamatannya sehingga dapat diketahui apakah pesan diterima dengan benar. Penyampaian hasil pengamatan perawat sering membuat klien berkomunikasi lebih jelas tanpa harus bertambah memfokuskan atau mengklarifikasi pesan.
Contoh:
-          “Anda tampak cemas.”
-          “Apakah Anda merasa tidak tenang apabila anda…”
Ini berarti dalam menyampaikan hasil observasi tidak serta merta menyampaikan hasil yang didapat saat melakukan observasi. Menyampaikan hasil observasi diharapkan agar klien menyadari atas perilaku yang merusak maupun perilaku yang tidak produktif sehingga menyampaikan hasil observasi tidak bertujuan untuk memberikan penilaian, tetapi semata-mata mengharapkan agar perilaku yang diperbuat itu disadari sebagai perilaku yang tidak menguntungkan dalam kelangsungan proses penyembuhan penyakit dengan memperhatikan perasaan dan konsep dirinya.

Menawarkan Informasi
Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan yang lebih baik bagi klien terhadap keadaannya. Memberikan tambahan informasi merupakan pendidikan kesehatan bagi klien. Selain itu, tindakan ini akan menambah ras percaya klien terhadap perawat, Karena perawat terkesan menguasai masalah yang dihadapi klien. Sebaliknya, jika perawat menahan informasi saat klien membutuhkan, akan membuat klien tidak percaya kepada perawat. Untuk itu perawat harus mampu menguasai ilmi pengetahuan yang memadai tentang masalah yang dihadapi kliebn sebagai bekal dalam memberikan pelayanan keperawatan. Apabila ada informasi yang ditutupi oleh dokter, perawat perlu mengklarifikasi alasannya. Perawat tidak boleh memberikan nasihat kepada klien ketika memberikan informasi, tetapi memfasilitasi klien untuk membuat keputusan.

Diam
Diam yang dilakukan perawat terhadap klien adalah bertujuan untuk menunggu respons klien untuk mengungkapkan perasaannya. Teknik komunikasi yang dilakukan perawat dengan tidak bicara apapun (diam) merupakan teknik komunikasi yang memberikan kesempatan kepadan klien untuk mengorganisir dan menyusun pikiran atau ide sebelum diungkapkan kepada perawat. Hal ini memungkinkan klien mengekspresikan ide dan pikirannya dengan detail dan sistematis.
Perilaku mendiamkan tidak dibenarkan dalam konteks komunikasi terapeutik. Perawat mendiamkan klien disebabkan perawat jengkel dengan klien yang terlalu mengkritik, crewet, rewel, dan tidak kooperatif. Dalam konteks komunikasi, diam yang dilakukan oleh seorang mengandung banyak arti dan persepsi. Menurut Nurjannah, I (2001), diam diartikan dan dipersepsikan antara lain sebgai berikut.
1.      Seseorang telah mengerti.
2.      Marah dan frustasi, tetapi menolak untuk mengungkapkan.
3.      Kesediaan orang lain untuk menanti.
4.      Bosan.
5.      Mendengarkan penuh perhatian.



Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat dalam rangka meningkatkan pemahaman. Meringkas berarti mengidentifikasi poin-poin penting selama diskusi ataupun pembiacaraan sehingga didalamnya sekaligus terjadi proses klarifikasi atas ide dalam pkirannya. Meringkas bisa diartikan sebagai proses abstraksisasi di mana terdapat kesimpulan atas diskusi maupun pembicaraan yang telah dilakukan sehingga ada kesamaan ide dalam pikiran. Meringkas pembicaraan membantu perawat mengulang aspek penting dalam interaksinya sehingga dapat melanjutkan pembicaraan dengan topic yang berkaitan. Contoh: “Selama beberapa jam, Anda dan saya telah membicarakan….”

Memberikan penguatan
Penguatan (reinforcement) positif atas hal-hal yang mampu dilakukan klien dengan baik dan benar merupakan bentuk pemberian penghargaan. Upaya yang dilakukan dalam pemberian penguatan positif bertujuan untuk meningkatkan motivasi kepada klien untuk berbuat yang lebih baik. Jadi bisa dikatakan bahwa penguatan positif merupakan motif atau bentuk dorongan kepada klien dengan cara membanggakan diri klien agar mampu memacu semangat dalam penerimaan diri untuk berbuat dan berperilaku yang lebih baik lagi. Demikian juga dengan memberi salam pada klien dengan menyebutkan namanya, menunjukkan kesadaran tentang perubahan yang terjadi pada diri klien, menghargai klien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung jawab atas dirinya sendiri sebagai individu merupakan bentuk dari pemberian penguatan positif yang mampu menggugah semangat klien.
Penghargaan dalam pelayanan keperawatan tidak berbentuk materi, akan tetapi berbentuk dorongan psikologis atau inmaterial untuk memacu lebih baik lagi. Penghargaan tersebut jangan sampai menjadi beban bagi klien, dalam arti kata jangan sampai klien berusaha keras dan melakukan segalanya demi mendapatkan pujian atau persetujuan atas perbuatannya. Selain itu, tidak juga dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ini “bagus” dan yang sebaliknya “buruk”. Perlu mengatakan “Apabila klien mencapai sesuatu yang nyata, maka perawat dapat mengatakan demikian”.
Contoh :
-          “Selamat pagi Ibu Sri.” Atau “Assalamu’alaikum.”
-          “Saya perhatikan Ibu sudah menyisir rambut Ibu.”
-          “Saya perhatikan Ibu sudah menyisir rambut Ibu.”
-          “Saya hari ini tampak senang sekali melihat Ibu sudah mulai latihan gerak.”
Dalam ajaran Islam, memberi salam dan penghargaan menggambarkan akhlak terpuji karena berarti mendoakn orang lain memperoleh rahmat dari Allah SWT. Salam menunjukkan perawat peduli terhadap orang lain dengan bersikap ramah dan akrab.

Menawarkan Diri
Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain atau klien tidak mampu untuk membuat dirinya dimengerti. Menawarkan diri merupakan kegiatan untuk memberikan respons agar seseorang menyadari perilakunya yang meugikan baik dirinya sendiri maupun orang lain tanpa ada rasa bermusuhan. Seringkali perawat hanya menawarkan kehadirannya, rasa tertarik, teknik komunikasi ini harus dilakukan tanpa pamrih.
Contoh: “Saya ingin Anda merasa tenang dan nyaman.”

Memberi Kesempatan Kepada Klien Untuk Memulai Pembicaraan
Berikan kesempatan pada  klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan. Biarkan klien yang merasa ragu-ragu dan tidak pasti tentang peranannya dalam interaksi ini. Perawat dapat menstimulasinya untuk mengambil inisiatif dan merasakan bahwa ia diharapkan untuk membuka pembicaraan.

Contoh :
-          “Adakah sesuatu yang ingin Anda bicarakan?”
-          “Apakah yang sedang Saudara pikirkan?”
-          “Dari mana Anda ingin mulai pembicaraan ini?

Menganjurkan untuk Meneruskan Pembicaraan
Teknik ini menganjurkan klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan yang mengindikasikan bahwa klien sedang mengikuti apa yang sedang dibicarakan dan tertarik dengan apa yang akan dibicarakan selanjutnya. Perawat lebih berusaha untuk mnafsirkan daripada mengarahkan diskusi/pembicaraan.
Contoh :
-          “….. teruskan …!”
-          “….. dan kemudian ….?
-          “Ceritakan pada  saya tentang itu ….”

Menempatkan Kejadian secara Teratur akan Menolong Perawat dan Klien untuk Melihatnya dalam suatu Perspektif
Kelanjutan dari suatu kejadian secara teratur akan menolong perawat dan klien untuk ,elihatnya dalam suatu perspektif. Kelanjutan dari suatu kejadian secara teratur akan menolong perawat dan klien untuk melihat kejadian berikutnya sebagai akibat kejadian yang pertama. Perawat akan dapat menentukan pola kesukaran interpersonal dan memberikan data tentang pengalaman yang memuaskan dan berarti bagi klien dalam memenuhi kebutuhannya.
Contoh:
-          “Apakah yang terjadi sebelum dan sesudahnya?”
-          “Kapan kejadian tersebut terjadi?”


Menganjurkan Klien untuk Menguraikan Persepsinya
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien. Klien harus merassa bebas untuk menguraikan persepsinya kepada perawat. Ketika menceritakan pengalamannya, perawat harus waspada akan timbulnya gejala ansietas.
Contoh :
-          “Ceritakan kepada saya bagaimana perasaan Saudara ketika akan dioperasi.”
-          “Apa yang sedang terjadi?”
Refleksi
Refleksi menganjurkan klien untuk mengemukakan dan menerima ide serta perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri. Apabila klien bertanya apa yang harus ia pikirkan, kerjakan, atau rasakan, maka perawat dapat menjawab: “Bagaimana menurutmu?” atau “Bagaimana perasaanmu?”. Dengan mengembalikan pikiran dan perasaannya itu kepada dirinya sendiri, klien akan berusaha untuk menilai apa yang sedang ia pikirkan, justru dia sendiri yang menilai dan bukan orang lain.
Menurut Stuart & Sundeen (1995), teknik refleksi digunakan untuk mengembalikan ide, perasaan dan pertanyaan kepada klien. Sedangkan, menurut Schultz & Videbeck (1998), refleksi merupakan tindakan mengembalikan pikiran dan perasaan klien. Terkadang klien belum mampu memutuskan apa yang telah ada dalam pikirannya, tetapi pikiran dan perasaan itu mengganggu sehingga klien tidak mampu mengambil keputusan. Hal itu terjadi karena kebimbangan atau keraguan dalam diri klien. Keraguan tersebut menimbulkan sifat ambivalensi sehingga perlu dukungan orang lain dalam mengambil keputusan.
Teknik refleksi yang dilakukan perawat bukan untuk menilai pikiran dan perasaan klien, akan tetapi perawat mengembalikan lagi pikiran dan perasaan yang merupakan bagian dari dirinya sendiri sehingga klien mencoba untuk menilai lagi pikiran dan perasaan yang telah ada sebagai uapaya untuk mengevaluasi dan menimbang-nimbang keputusan yang akan diambil. Dengan demikian perawat mengindikasikan bahwa pendapat dan pikiran klien adalah berharga dan klien mempunyai hak untuk mampu melakukan hal tersebut sehingga ia pun berpikir bahwa dirinya adalah manusia yang mempunyai kapasitas dan kemampuan sebagai individu yang terintegrasi dan bukan sebagai bagian dari orang lain.
Contoh :
K         : “Apakah menurutmu saya harus mengatakannya kepada dokter?”
P          : “Apakah menurut Anda, Anda harus mengatakannya?”
K         : “Suami saya sudah lama tidak datang mengunjungi saya bahkan tidak menelepon saya, kalau dia datang saya tidak ingin berbicara dengannya.”
P          : “Ini menyebabkan Anda marah.”

2.7  Penggunaan komunikasi terapeutik pada lansia
Lansia sering mengalami gangguan komunikasi karena mengalami penurunan pengliatan, pendengaran, wicara, dan persepsi. Semua ini menyebabkan penurunan kemampuan lansia untuk menangkap pesan atau informasi serta melakukan transfer informasi. Gangguan indra pada lansia yang tinggal di rumah sendiri atau di lingkungan keluarga, di panti sosial tresna werda atau di rumah sakit disebabkan oleh gangguan anatomik organ, gangguan fisiologis organ, kematangan/maturasi, degenerasi, atau gangguan kognitif-persepsi. Ada dua tingkat gangguan komunikasi, yaitu gangguan pada sistem pengindraan dan tingkat integratif. Gangguan pengindraan meliputi gangguan penglihatan, gangguan pendengaran atau gangguan wicara. Sedangkan gangguan yang melibatkan sistem integratif yang lebih tinggi adalah gangguan mental, gangguan maturasi pikir (degenerasi proses pikir), atau gangguan kesadaran.
Bagaimana sikap penyampaian pesan dalam berkomunikasi dengan lansia. Kemampuan komunikasi pada lansia dapat mengalami penurunan, akibat penurunan fungsi berbagai sistem organ, seperti penglihatan, pendengaran, wicara, persepsi dan lain-lain. Semua ini menyebabkan penurunan kemampuan lansia untuk menangkap pesan atau informasi. Penurunan kemampuan melakukan komunikasi berlangsung bertahap dan bergantung pada seberapa jauh gangguan indera dan gangguan otak yang dialami lansia.

1. Lansia dengan Gangguan Penglihatan
Gangguan penglihatan pada lansia dapat terjadi baik karena kerusakan organ misalnya kornea, lensa mata, kekeruhan lensa mata (katarak), atau kerusakan saraf penghantar impuls menuju otak. Semua ini mengakibatkan penurunan visus hingga dapat menyebabkan kebutaan, baik parsial maupun total.
Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan perawat atau pemberi asuhan harus mengoptimalkan fungsi pendengaran dan sentuhan karena fungsi penglihatan sedapat mungkin harus diganti oleh informasi yang dapat ditransfer melalui indera yang lain. Ketika melakukan orientasi tempat tidur, ruan tamu, ruang makan, ruang perawatan, ruang rekreasi, kamar mandi , dan lain-lain, klien lansia harus mendapatkan keterangan yang memvisualisasi kondisi tempat tersebut secara lisan. Misalnya,menerangkan letak meja dan kursi makan, menerangkan berapa langkah posisi tempat tidur dari pintu, letak kamar amndi dan sebagainya.
Berikut penggunaan teknik komunikasi yang perlu diperhatikan selama berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan penglihatan :
a.       Perawat atau pemberi asuhan sedapat mungkin mengambil posisi yang dapat dilihat oleh klien lansia bila ia mengalami buta parsial atau memberi tahu secara verbal keberadaan/kehadirannya.
b.      Perawat atau pemberi asuhan menyebutkan identitasnya dan menyebutkan nama serta perannya.
c.       Perawat atau pemberi asuhan berbicara dengan menggunakan nadan suara normal karena kondisi lansia tidak memungkinkannya menerima pesan non-verbal secara visual.
d.      Nada suara perawat atau pemberi asuhan memegang peranan besar dan bermakna bagi lansia.
e.       Jelaskan alasan perawat dan pemberi asuhan menyentuh sebelum melakukan sentuhan pada lansia.
f.       Ketika perawat dan pemberi asuhan akan meninggalkan ruangan atau hendak memutus komunikasi atau pembicaraan, informasikan kepada lansia.
g.      Orientasikan lansia pada suara-suara yang terdengar di sekitarnya.
h.      Orientasikan lansia pada lingkungannya bila lansia dipindahkan ke lingkungan yang asing baginya.

2. Lansia dengan Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran pada lansia dapat terjadi berupa penurunan pendengaran hingga tuli (tuli lansia). Bentuk ketulian yang selama ini dikenal ialah :
a. Tuli perspektif yaitu tuli yang terjadi akibat kerusakan sistem saraf
b. Tuli konduktif yaitu tuli yang terjadi akibat kerusakan struktur penghantar rangsang suara.
Pada kien lansia dengan gangguan pendengaran, media komunikasi yang paling sering digunakan adalah media visual. Klien lansia menangkap pesan bukan berupa suara yang dikeluarkan perawat/orang lain, tetapi dengan mempelajari gerak bibir lawan bicaranya. Kondisi visual menjadi sangat penting bagi klien lansia ini sehingga dalam melakukan komunikasi, upayakan agar sikap dan gerakan perawat dapat ditangkap oleh indera visualnya.
Berikut penggunaan komunikasi yang dapat digunakan klien lansia dengan gangguan pendengaran :
a.         Orientasikan kehadiran perawat dnegan menyentuh lansia tau memposisikan diri didepannya.
b.    Usahakan mengg8unakan bahsa yang sederhana  dan berbicara dengan perlahan untuk memudahkan lansia membaca gerak bibir perawat.
c.     Usahakan berbicara dengan posisi tepat di depan lansia dan pertahankan sikap tubuh serta mimik wajah yang lazim.
d.    Jangan melakukan pembicaraan ketika perawat sedang mengunyah sesuatu (mis: menguyah permen).
e.     Gunakan bahasa pantomim bila memungkinkan denan gerakan sederhana dan perlahan.
f.     Gunakan bahasa isyarat atau bahasa jari bila diperlukan dan perawat mampu melakukan.
g.    Apabila ada sesuatu yang sulit untuk dikomunikasikan, sampaikan pesan dalam bentuk tulisan atau gambar.

3. Lansia dengan Gangguan Wicara
Lansia dapat mengalami gangguan wicara, yang dapat terjadi akibat ompong, kerusakan organ lingual, kerusakan pita suara, atau gangguan persyarafan. Berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan wicara memerlukan kesabaran agar pesan dapat dikirim dan ditangkap dengan benar. Lansia yang mengalami gangguan wicara umumnya telah belajar komunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat atau menggunakan tulisan.
Pada saat berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan wicara, hal-hal yang perlu  diperhatikan :
a.       Perawat atau pemberi asuhan memperhatikan mimik dan gerak bibir lansia.
b.      Usahakan memperjelas hal yang disampaikan dengan mengulang kembali kata-kata yang diucapkan lansia.
c.       Mengendalikan pembicaraan supaya tidak membahas terlalu banyak topik.
d.      Mengendalikan pembicaraan sehingga menjadi lebih rileks dan perlahan.
e.       Memperhatikan setiap detail informasi sehingga pesan dapat diterima dengan baik.
f.       Bila perlu, gunakan bahasa tulis dan simbol.
g.      Bila memungkinkan, hadirkan orang yang biasa berkomunikasi lisan dengan lansia untuk menjadi mediator komunikasi.

4. Lansia yang Tidak Sadar
Ketidaksadaran mengakibatkan fungís sensorik dan motorik lansia mengalami penururnan sehingga sering kali stimulus dari luar tidak dapat diterima dan lansia tidak dapat merespon kembali stimulus tersebut. Keadaan tidak sadar dapat terjadi akibat gangguan organik pada otak, trauma otak yang berat, syok, pingsan, kondisi tidur, kondisi anastesi, gangguan berat yang terkait dengan penyakit tertentu (koma diabetikum).
Seringkali timbal pertanyaan tentang perlu atau tidaknya perawat atau pemberi asuhan berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan kesadaran ini. Bagaimanapun, secara etis penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan mengharuskan penerapan komunikasi pada lansia yang tidak sadar.
Pada saat berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan kesadaran, hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
  1. Perawat atau pemberi asuhan harus berhati-hati ketika melakukan pembicaraan verbal dekat dengan lansia karena ada keyakinan bahwa organ pendengaran merupakan organ terakhir yang mengalami penurunan kemampuan menerima rangsangan pada individu yang tidak sadar. Individu yang tidak sadar seringkali dapat mendengar suara dari lingkungannya walaupun ia tidak mampu meresponnya kembali.
  2. Perawat atau pemberi asuhan harus mengambil asumís bahwa lansia dapat mendengar pembicaraan kita. Usahakan mengucapkan kata dengan menggunakan nada normal dan memperhatikan materi ucapan yang kita sampaikan di dekat lansia.
  3. Perawat atau pemberi asuhan harus memberi ungkapan verbal sebelum menyentuh lansia. Sentuhan diyakini dapat menjadi salah satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada lansia dengan penurunan kesadaran.
  4. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu lansia berfokus pada komunikasi yang dilakukan.

5. Lansia dengan Penurunan Daya Ingat
Lansia yang mengalami penurunan daya ingat atau demencia atau kepikunan mengalami kesulitan untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain. Hal ini sangat mengecewakan dan membingungkan lansia maupun pemberi asuhan. Perawat atau pemberi asuhan perlu :
1.       Mengenali minimal 10 gejala berikut :
a.       Lupa kejadian yang baru saja di alami
b.      Kesulitan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari
c.       Kesulitan dalam berbahasa
d.      Disorientasi waktu dan tempat
e.       Tidak mampu membuat pertimbangan dan keputusan yang tepat
f.       Kesulitan berpikir abstrak
g.      Salah menaruh barang (mis: setrika disimpan dalm kulkas)
h.      Peubahan suasana hati
i.        Perubahan perilaku dan kepribadian
j.        Kehilangan inisiatif

2.       Menyiapkan mental. Perawat atau pemberi asuhan sebelum berkomunikasi dan memberi asuhan keperawatan dan pelayanan sosial kepada lansia terlebih dahulu sudah harus siap mental , yaitu :
a.       Menyadari bahwa akan menghadapi situasi yang sulit
b.      Mengingat bahawa lansia yang mengalami penurunan daya ingat mungkin menderita demensia
c.       Siap untuk ”tidak dihargai”
d.      Mengabaikan nalar
e.       Kemarahan Anda sebaiknya disalurkan ke tempat lain
f.       Memfokuskan pada saat yang menyenangkan
g.      Menghindari menganggap bahwa lansia selalu membuat ulah
h.      Mengupayakan selalu mengembangkan rasa humor
i.        Menghargai diri sendiri
j.        Bila perlu menggunakan jasa respite care

3.      Memberi asuhan keperawatan
a.       Minta pertolongan orang lain :
·         Mengikutsertakan dalam kelompok pemberi bantuan
·         Dapatkan bantuan dari keluarga atau sahabatnya
·         Tidak menunggu sampai terjadi masalah
·         Dapatkan orang yang dapat diandalkan dan dapat memberi pertolongan
·         Dapatkan keterangan mengenai sumber di masyarakat yang dapat memberi pertolongan

b.      Perhatikan kebutuhan pribadi :
    • Makanan yang cukup gizi
    • Olahraga atau latihan fisik yang cukup dan teratur
    • Tidur yang cukup
    • Meluangkan waktu untuk diri sendiri (mis: menjenguk teman)
    • Mengenali perasaan frustasi, sedih, marah, dan depresi. Tentukan orang yang dapat dipercaya untuk membicarakan apa yang Anda rasakan

c.       Hindari kesendirian :
·         Cari hobi atau aktivitas yang disukai
·         Aktif dalam kegiatan rohani atau sosial
·         Menjalin komunikasi dengan orang yang dianggap masih produktif dalam berpikir
Penyakit demensia Alzheimer membutuhkan penanganan yang ”menyeluruh” dan melibatkan lingkungannya. Lingkungan tersebut meliputi kerabat dan sahabat yang terdiri dati seluruh anggota keluarga, orang dekat atau teman yang peduli dan menaruh minat dalam lansia.
Perawat bertanggung jawab terhadap kebutuhan lansia sehari-hari :
1.    Makan
a.       Penuhi kebutuhan eliminasi sebelum makan
b.      Kurangi kebisingan ruangan dan pengalih perhatian
c.       Singkirkan benda-benda yang tidak perlu
d.      Gunakan piring yang polos
e.       Beri satun alat makan dan satu macam makanan
f.       Ingatkan cara makan
g.      Sajikan makanan dalam potongan kecil agar tidak tersedak
h.      Ingatkan pasien untuk makan secara perlahan
i.        Perhatikan pasien bila tidak dapat membedakan rasa panas atau dingin
j.        Bila kesulitan menelan, konsultasikan ke dokter
k.      Beri tahu tahap-tahap makan ( mulai dari memegang sendok sampai memasukkan makanan ke mulut)

2.       Mandi
a.         Siapkan air mandi, handuk, pakaian pengganti sebelum mandi
b.      Periksa suhu air
c.       Pasang pengaman/pegangan
d.      Coba mandikan dengan shower
e.       Pakai spon
f.       Jaga privasinya
g.      Beri tahukan apa yang akan Anda lakukan
h.      Bilalansia menolak mandi coba tawarkan lagi beberapa waktu kemudian
i.        Izinkan lansia melakukan tindakan tanpa bantuan
j.        Pertahankan tentang keselamatan
3.      Berpakaian dan berhias
a.       Susun pakaian yang akan dipakai sesuai urutan
b.      Gunakan pakaian yang nyaman dan dapat dicuci
c.       Pilih pakaian yang mudah dipakai (hindari menggunakan kancing), lebih baik yang menggunakan karet
d.      Sebaiknya pakaian berkancing belakang bila pasien sering membuka pakaiannya

4.      Eliminasi
a.       Kesulitan defekasi harus di konsultasikan ke dokter
b.      Buat jadwal teratur ke toilet (mis: 3 jam sekali, sesudah makan, sebelum makan)
c.       Perhatikan tanda yang menunjukkan adanya keinginan ke toilet (mis: mondar-mandir atau menarik-narik retsluiting)
d.      Pastikan ia cukupmendapat cairan karena dehidrasi dapat menyebabkan gejala demensia Alzheimer menjadi lebih buruk dan mencegah konstipasi
e.       Kurangi zat cai dan makanan bergas sesudah makan malam
f.       Pastikan makanan mengandung serat (sayuran dan buah-buahan)
g.      Tandai pintu toilet dengan tulisan yang menyolok dengan huruf besar atau gambar/simbol
h.      Biarkan toilet terbukas ehingga mudah ditemukan
i.        Usahakan lantai kamar mandi di cat warna yang berbeda
j.        Singkirkan ember, pot, dan benda yang menerupai dudukan toilet
k.      Hindari sikap mempermalukan atau memarahi lansia
l.        Pastikan pakaian mudah dibuka
m.    Sediakan pispot di samping tempat tidur (bila perlu)



Lansia demensia Alzheimer mudah bingung terhadap suara atau warna yang berlainan, dan bila berada dalam lingkungan yang menakutkan timbul perasaan yang berlebihan. Semua ini dapat membuat marah dan mencemaskan untuk menciptakan pearsaan aman dan senang bagi lansia, perawat harus :
1.       Berfokus pada pencegahan
a.       Berusaha mencegah masalah
b.      Kecelakaan dapat terjadi bla seseorang terlalu diburu-buru
c.       Beri waktu yang cukup
d.      Jika lansia seorang perokok, awasi pemakaian rokok dan korek

2.       pertahankan keamanan dan keselamatan
a.       Pasang pintu di atas tangga dan alat untuk pegangan
b.      Pasang kunci pada lemari tempat alat-alat berbahaya (pisau, alat pembersih)
c.       Pasang penutup pada kenop pintu sehingga menghalangi lansia keluyuran
d.      Ciptakan suasana sederhana. Keluarkan semua perabotan/mebel yang tidak perlu serta Segala macam yang mengacaukan pikiran termasuk perhiasan
e.       Simpan barang yang sering dipakai selalu di tempat yang sama
f.       Keluarkan barang-barang yang dapat menyebabkan kebingungan (mis: krim cukur berdekatan dengan pasta gigi)
g.      Sigkirkan barang yang berbahaya, termasuk tanaman beracun
h.      Singkirkan benda-benda kecil yang dapat ditelan dan simpan semua alat-alat yang tajam
i.        Pastikan kabel listrik berada dalam keadaan aman
j.        Sediakanpenerangan yang cukup. Pakai lampu yang tidak mudah jatuh. Pasang lampu malam ditempat tidur, di gang, dan di kamar mandi.
k.      Pastikan ada penerangan yang cukup dan hindarti bayang-bayang sehingga dapat mengakibatkan persepsi yang salah dari lansia

l.        Amankan dapur. Pindahkan kenop oven bila kompor tidak dipakai. Simpan alat-alat dapur dengan aman
m.    Ciptakan kamar tidur yang aman. Sediakan bangku untuk duduk. Pastikan alat pengatur suhu pada alat pemanas air telah diturunkan untuk menghindari kebakaran. Lantai harus selalu kering dan gunakan keset antiselip agar tidak tergelincir . keluarkan kunci dari pintu kamar mandi

3.      Bersiap menghadapi keadaan darurat
a.       Buat petunjuk tertulis untuk menghadapi kebakaran atau bentuk lain keadaan darurat dan pasang dekat telepon, bersama telepon polisi, pemadam kebakaran dan dokter
b.      Siapkan foto terbaru lansia tersebut agar dapat membantu polisi bila lansia hilang
c.       Pasien harus memamkai kalung identitas atau tanda ”memory lost
d.      Jangan biarkan lansia sendirian dirumah, walaupun untuk beberapa menit

6. Lansia dengan Perilaku Sulit
Lansia yang mengalami penurunan daya ingat atau kehilangan memori, memperlihatkan tingkah laku yang sulit. Untuk menjamin keamanannya dan memberinya martabat, perawat atau pemberi asuhan harus bersikap :
a.       Hindari sikap mengharapkan lansia ingat karena adanya penurunan daya ingat membuat lansia tidak akan dapat mengingat banyak hal. Bahkan lansia akan bingung bila kita mengajukan pertanyaan ”Apakah bapak tidak ingat?”
b.      Bila lansia menjadi gelisah mereka menunjukkan perilaku yang sulit. Alihkan perhatiannya dengan kegiatan yang lain, misalnya mengajaknya minum teh bersama bila lansia mondar-mandir atau berjalan terus mengitari rumah
c.       Ciptakan kegiatan dan komunikasi yang sederhana. Kegiatan hendaknya dibuat menjadi lebih sederhana dan bertahap. Pasien demensia mampu memusatkan pikiran dan menyelesaikan kegiatannya secara bertahap
d.      Ciptakan rutinitas dengan menetapkan aktivitas yang tetap dilakukan setiap hari termasuk bangun pagi, makan, dan berbagai kegiatan lain sehinga dapat membantu mengurangi kegelisahan dan mengembangkan perasaan gembira bagi penderita demensia Alzheimer
e.       Beri penentraman hati dan pujian yang akan meningkatkan harga diri dan memperkuat perilakunya
f.       Hindari berdebat dengan pasien demensia
g.      Libatkan dalam kegiatan sosial yang dapat menjamin pasien demensia kontak langsung dengan orang lain
h.      Ciptakan lingkungan tetap sederhana, aman, dan tenang
Keterampilan tertentu diperlukan perawat untuk mencapai dan mempertahankan  hubungan terapeutik. Keterampilan ini menghubungkan keterampilan verbal dan non-verbal sertas sikap dan perasaan perawat. Keterampilan ini dibagi dalam dua dimensi, yakni:
1.    Dimensi responsive
a.       keikhlasan (kesejatian)
b.      menghormati dan menghargai orang lain termasuk lansia dan keluarganya
c.       empati
d.      konkret (member penjelasan dengan terminologi yang spesifik dan tidak abstrak).
2.      Dimensi tindakan
Dimensi ini termasuk didalamnya konfrontasi, kesegeraan dalam memberikan bantuan kepada lanjut usia, pembukaan dan bermain peran. Dimensi ini harus diimplementasikan dalam konteks kehangatan, penerimaan dan pengertian dalam bentuk dimensi responsive.
Bab 3
Penutup

3.1 Simpulan
Kemampuan menerapkan teknik komunikasi terapeutik memerlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman perasaan, karena komunikasi terjadi tidak dalam kemampuan tetapi dalam dimensi nilai, waktu, dan ruang yang turut memengaruhi keberhasilan komunikasi yang terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien dan juga kepuasan bagi perawat. Komunikasi juga akan memberikan dampak terapeutik bila dalam penggunaannya diperhatikan sikap dan teknik komunikasi terapeutik. Hal lain yang cukup penting diperhatikan adalah dimensi hubungan. Dimensi ini merupakan faktor penunjang yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik.

Saran
Lansia perlu diberi kesempatan untuk bersosialisasi atau berkumpul dengan orang lain. Selain untuk mempertahankan keterampilan berkomunikasi juga untuk menunda kepikunan. Dengan demikian, mereka juga dapat merasakan kegembiraan bersama orang lain dan merasakan peredaan stress. Beberapa kegiatan yang dapat diikuti oleh lansia adalah arisan, kegiatan rohani, pemeriksaan di posyandu, melayat, menjenguk teman sakit, menghadiri undangan, atau senam lansia bersama.
Perawat atau pemberi asuhan harus mampu melakukan teknik komunikasi secara baik dan efektif. Komunikasi yang dijalin harus bersifat terapeutik.




DAFTAR PUSTAKA

Nasir, abdul, dkk. 2009. “Komunikasi Dalam Keperawatan Teori Dan Aplikasi”. Jakarta: Salemba Medika
Nugroho, wahyudi. 2009. “Komunikasi Dalam Keperawatan Gerontik”. Jakarta: EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar