PAGE

Minggu, 30 Juni 2013

Tugas Keperawatan Komunitas III
PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT
( PHBS )


Oleh :
Kelompok 14

1.     Fitrianti Wulan N.                         101.0044
2.     Gabrielle Nareswara A.                 101.0046
3.     Yusuf Afandi                                 101.0118


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2013




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Menurut WHO, setiap tahunnya sekitar 2,2 juta orang di negara-negara berkembang terutama anak-anak meninggal dunia akibat berbagai penyakit yang disebabkan oleh kurangya air minum yang aman, sanitasi dan hygiene yang buruk.

Oleh karena itu, terdapat bukti bahwa pelayanan sanitasi yang memadai, persediaan air yang aman, sistem pembuangan sampah serta pendidikan hygiene dapat menekan tingkat kematian akibat Diare sampai 65%, serta penyakit-penyakit lainnya sebanyak 26%.

Bersamaan dengan masuknya tahun milenium baru, Departemen  Kesehatan telah mencanangkan Gerakan  Pembangunan Berwawasan Kesehatan, yang dilandasi paradigma sehat. Paradigma Sehat adalah cara pandang, pola pikir atau model pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, melihat masalah kesehatan yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang bersifat lintas sektor, dan upayanya lebih diarahkan pada peningkatan, pemeliharaan dan perlindungan kesehatan.

Berdasarkan paradigma sehat ditetapkan visi Indonesia Sehat 2010, dimana ada 3 pilar yang perlu mendapat perhatian khusus, yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat serta pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata. Untuk perilaku sehat bentuk konkritnya yaitu perilaku proaktif memelihara dan meningkatkan kesehatan. mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam upaya kesehatan. Mengingat dampak dari perilaku terhadap derajat kesehatan cukup besar (30-35% terhadap derajat kesehatan), maka diperlukan berbagai upaya untuk mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat. Salah satunya melalui program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 2010 atau PHBS 2010 adalah keadaan dimana individu-individu dalam rumah tangga (keluarga) masyarakat Indonesia telah melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam rangka :

1.    Mencegah timbulnya penyakit dalam masalah-masalah kesehatan lain.
2.  Menanggulangi penyakit dan masalah-masalah kesehatan lain, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan.
3.    Memanfaatkan pelayanan kesehatan.
4.  Mengembangkan dan menyelenggarakan upaya kesehatan bersumber  masyarakat.

Namun, secara nasional penduduk yang telah memenuhi kriteria PHBS baik pada tahun 2011 hanya 55% dan diharapkan mencapai 70% pada tahun 2014.

1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep teori tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ?

1.3. Tujuan
1.3.1.      Tujuan Umum
Menjelaskan konsep teori tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

1.3.2.      Tujuan Khusus
a.       Menjelaskan konsep dasar perilaku kesehatan.
b.      Menjelaskan konsep dasar lingkungan.
c.       Menjelaskan konsep teori tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).



BAB 2
TINJAUAN TEORI


2.1. Konsep Dasar Perilaku Kesehatan
2.1.1. Definisi Perilaku Sehat
Perilaku adalah merupakan perbuatan/ tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya (Maryuani, 2013:24).

Perilaku kesehatan (health behavior) adalah respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010:23).

2.1.2. Model Perilaku Sehat
Kasl dan Cobb (1996) membuat perbedaan diantara tiga tipe yang berbeda dari perilaku kesehatan:
1.      Perilaku kesehatan
Merupakan suatu aktivitas dilakukan oleh individu yang meyakini dirinya sehat untuk tujuan mencegah penyakit atau mendeteksinya dalam tahap asimptomatik.
2.      Perilaku sakit
Merupakan aktivitas dimana yang dilakukan oleh individu yang merasa sakit, untuk mendefinisikan keadaan kesehatannya dan untuk menemukan pengobatan mandiri yang tepat.
3.      Perilaku peran sakit
Merupakan aktivitas yang dilakukan untuk tujuan mendapatkan kesejahteraan, oleh individu yang mempertimbangkan diri mereka sendiri sakit. Hal ini mencangkup mendapatkan pengobatan dari ahli terapi yang tepat, seara umum mencangkup seluruh rentang perilaku mandiri dan menimbulkan beberapa derajat penyimpangan terhadap tugas kebiasaan seseorang.
Model-model tersebut didiskusikan secara esensial dengan memperhatikan pemahaman dan memperkiraan perilaku sehat.

2.1.3. Model Keyakinan Kesehatan
Model ini dikembangkan oleh empat ahli psikologis yaitu : Hochbaum, Kegeles, Leventhal dan Rosenstock (Rosenstock 1974) untuk memprediksikan perilaku kesehatan preventif individu. Model ini selanjutnya di ubah oleh Becker dan Maiman (1975) untuk memasukkan perilaku peran sakit dan mematuhi program medikal. Kesiapan untuk menjelaskan tindakan dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan tergantung pada beberapa faktor. Dua faktor yang pertama memperhatikan seberapa luas individu rentang terhadap enyakit tertentu. Ini mencangkup apakah mereka merasa rentan untuk menderita sakit dan pikiran-pikiran merka tentang seberapa berat sakit tersebut :
1.      Kerentanan
Suatu keyakinan seorang individu tentang apakah ia mungkin menderita sakit.
2.      Keparahan
Suatu derajat dimana individu mersakan akibat dari menderita sakit menjadi parah.
Bersama-sama kedua faktor ini terdiri dari apa yang diketahui sebagai ancaman yang dirasakan dari suatu penyakit, kadang-kadang sebagi suatu kerentanan. Dan dua faktor selanjutnya ditekankan dengan pro dan kontra tentang melakukan beberapa tindakan untuk melawan penyakit. “ apa yang harus dilakukan? apa yang harus saya bayar?”

1.      Keuntungan
Ini merujuk pada potensial ditingkatkan dari program tindakan tertentu yang akan menurangi ancaman kesehatan.
2.      Hambatan
Adanya kepitusan untuk bertindak akan mempunyai sejumlah akibat tertentu. Disini mungkin ada derajat distress fisik, psikologis atau finansial yang berhubungan dengan bentuk tindakan apapun.

Dalam tahap berikutnya, sebagai pasien harus “membangunkan” keuntungan yang mungkin timbul dari perubahan gaya hidup terhadap dirinya dengan arti dia mungkin “membuang” tindakan yang buruk dalam hidupnya. Setelah mempertimbangkan empat faktor ini, pasien dapat memtuskan untuk mengambil beberapa bentuk tindakan, tetapi ada dua faktor yang dapat merangsang untuk melakukan sesuatu terhadap kondisinya :
1.      Petunjuk tindakan adalah stimuli yang mentriger perilaku kesehtan yang tepat. Petunjuk ini dapat baik internal (status jasmani) ataupun eksrenal (stimulus dari lingkungan seperti media masa).
2.      Berbagai faktor. Hal ini mencakup faktor demografis, etnik, sosial, dan personalitas yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan.

Becker et al (1977) mencakup tujuh faktor dalam perbaikkan mereka terhadap model, yang predisposisi atau motivasi terhadap individu untuk ikut serta dalam praktik yang berhubungan dengan kesehatan. Becker et al menyatakan model keyakinan kesehatan adalah alat yang bermanfaat dalam memprediksi derajat dimana individu kemungkinan memainkan peran aktif dalam perawatan kesehatan mereka dan orang lain. Mereka memberikan suatuh contoh model dalam tindakan upaya untuk memperkirakan apakah ibu dari anak yang gemuk akan menepati perjanjian jadwal klinis mereka. Subjek dari eksperimen adalah 182 ibu dari anak yang baru du diagnosis sebagai kegemukkan. Lebih dari periode 12 bulan, subjek ini di tuntut untuk mengunjungi klinik empat kali. Ini adalah tindakan perilaku actual mereka, mereka juga mengukur jumlah perubahan berat badan yang terjadi selama periode ini.
Suatu kuesioner digunakan untuk menambah informasi tentang keyakinan kesehatan ibu berkenan dengan pokok-pokok seperti bagaimana anak menjadi sakit, parahnya kelebihan berat badan yang diakibatkan oleh penyakit serius, apakah ada masalah yang berhubungan dengan diet bila anak tidak menginginkan berbuat apapun dengan hal tersebut: suatu pengkajian tentang masalah pribadi ibu tentang perawatan kesehatan secara umum dan luasnya keinginan mereka untuk ikut dalam praktik yang berhubungan dengan kesehatan yang dipengaruhi oleh kepatuhan (motivasi).
Hasilnya yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara keyakinan kesehatan ibu dan penurunan kegemukkan lebih dari periode 12 bulan. Lebih dari setengah dari korelasi antara pokok-pokok kuesioner dan kehadiran di klinik plus penurunan berat badan sehingga signifikasi. Namun model keyakian kesehatan tampak lebih baik dari perkiraan hasil perilaku actual misalnya penurunan berat badan daripada perilaku itu sendiri missal menepati perjanjian di klinik.
Tidak ada keraguan bahwa model keyakinan kesehatan dapat menjadi pedoman bermanfaat untuk perilaku kesehatan dalam situasi tertentu (Resenstock, 1974 dan  Rosenstock dan Kirscht, 1979), tetapi ada kritisme. Pertama, perumusan kembali yang di ajukan oleh Becker dan Maiman membuat teori yang sulit digunakan dengan 11 faktor “kesiapan” dan 23 faktor “ memungkinkan”. Hal ini secara jelas terdapat banyak variable daripada dapat dimasukkannya sebuah study mana pun (Wallson & Wallston 1984). Kedua, model yang memperlakukan individu sebagai pembuat keputusan rasional. Janis (1984) menyatakan yang terpenting adalah bahwa model kesehatan, gagal untuk menguraiakan dalam kondisi apa individu akan memberikan prorotas untuk menghindari ketidaknyamanan subjektif pada biaya yang mengancam kehidupan mereka, dan pada kondisi apa mereka akan membuat keputusan lebih rasional. Akhirnya Wallston & Wallston berpikir bahwa dengan mengkombinasikan predaktor keyakinan kesehatan secara interaktof dapat memperbaiki lebih baik daripada secara sederhana menambahkannya menjadi satu.
2.1.4.      Model Lokus Kontrol
Rotter (1954) mengajukan bahwa perilaku adalah suatu fungsi keyakinan individu dimana perilaku akan menimbulkan penguatan (harapan) dan seberapa banyak penguatan disukai (nilai penguatan). Faktor yang penting dalam menetukan harapan yang digeneralisai adalah lokus control. Untuk mengukur harapan yang digeneralisasikan hampir satu lusin pengukuran lokus control yang berbeda telah dikembangkan ( Lefcourt 1982) tetapi tes yang dianjurkan Rotter diketahui sebagai Skala I-E. Pertimbangkan pernyataan berikut :
1.      a. Banyak individu dapat digambarkan sebagai korban takdir.
b. Apa yang terjadi pada individu lain adalah benar-benar perbuatan mereka sendiri.
2. a. Kebanyakan dari segala sesuatu yang terjadi pada saya adalah keberuntungan.
     b. Saya dalam kontrol sepenuhnya terhadap nasib saya.
3.  a. Dunia yang diketahui disusun menurut desain agung, tapi saya tidak dapat menyusunnya.
     b. Dunia ini rumit, tetapi saya selalu dapat menyusun segala sesuatu bila saya berusaha cukup keras.
4. a. Adakah bodoh pikiran bahwa anda dapat mengubah keyakinan orang lain.
    b. Saya tahu kapan saya benar dan dapat meyakinkan orang lain.

Bila anda setuju degan pernyataan yang di tandai dengan “a” maka anda mempnyai lokus kontol eksterna, yaiu anda meyakini bahwa kita bukan ahli tentang takdir kit sendiri dan adalah subjek untuk control kekuatan luar seperti keberuntungan atau nasib. Bila anda setuju dengan pernyataan yang ditandai dengan “b”, maka anda mempunyai lokus control internal. Anda yakin bahwa anda mempunyai keyakinan untuk mempengaruhi dan menentukan gambaran yang mempengaruhi hidup anda. Bila anda mempunyai lokus control eksternal, maka anda sedikit kemungkinan untuk masuk dalam perilaku yang mempunyai efek positif dalam hidup anda, dengan meyakini bahwa tidak masalah apa yang anda lakukan, takdir telah memutuskan untuk anda. Bila di lain pihak, anda memunyai lokus kontrol internal maka anda lebih mungkin untuk melakukan sesuai untuk diri anda sendiri, karena anda yakin bahwa anda dapat mempunyai perkataan signifikai dalam bagaimana menjalani hidup.
Suatu peningkatan jumlah penelitian kesehatan yang telah menukur keakinan lokus control dan telah beruaya utuk menghubungkan harapa terhadap penjamu dari perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (Oberle, 1991). Beberapa study ini menggunakan suatu skala yang tidak memperhatikan factor kesehatan ( Levenso 1973), yang lain telah menghubungkan pook-pokok kesehatan khusus keadaan skala merek ( Wallson & Wallston 1984). Beberapa study the menemukan bahwa seorang individu paling mungkin untuk mengikuti perilaku sehat bila ia mempunyai keyakinan alam lokus control kesehatan internal dan penilainan yang tinggi terhadap kesehatan, yang lain menemukan hal yang sebaliknya benar.
Contoh. De vellis e al  (1980) meminta indivdu dengan epilepsy untk mengisi suatu format yang memberikan informasi tentang empat poko perilaku : kegagalan menggunakan obat, frekuensi mengemudi, konsumsi alkohol dan keinginan untuk mengikuti dalam mencari informasi tentang epilepsy lebih banyak. Mereka juga diberi skala lokus control kesehatan mulidimensi. Perilaku eksperimen menemukan hubungan menarik antara individu yang mempunyai control internal dan ketaatan pada nasihat medik. Individu yang mempunyai keyakinan lebih tinggi dalam control internal kurang mungkin untuk menaati naihat medis, lebih banyak mengendari kendraan, minum alcohol dan lebih mungkin untuk mencari ibformasi mengenai epilepsy. Hal ini mungkin bahwa individu dengan keyakianan internal mmpunyai kebbasan untuk memutukan untuk diri mereka sendiri kapan tepatnya untuk tidak menaati. Sebagai contoh, bila kejang dalam control yang baik, mengendarai kendraan mungkin menjadi resiko yang tepat. Karenanya individu yang mempunyai lokus control internal mungkin lebih bermotivasi untu mengambil tindakan mengenai kesehatan mereka, tetapi kadang kadang kurang mungkin untuk  mentaati nasihat medis.
Terdapat sejumlah kekurangan pada pendekatan ini. Pertama, nilai prediktifnya tidak dapat di percaya seperti model keyakiana kesehatan ( Wallston & Wallston 1984). Kedua, prediksi tentang perilaku dari sikap yang menuntut korespondensi tinggi ; ni meragukan apakah model dapat mengatasi kesulitan ini. Stainton –Rogers (19910 memikirkan model ini secara total tidak tepat sebagai penjelasan perilaku sehat : namun Obrle (1991) berpikir bahwa masalah utaanya bukan pada konsep lokus control itu sendiri tetapi standart study yang telah menggunakan ,odel. Akhirnya, hal ini mungkin lebih menguntungkan untuk menyelidiki bentuk lain serta lokus kontrol yang didefinisikan berdasarkan situasi khusus.

2.2. Konsep Dasar Lingkungan
2.2.1. Pengertian Lingkungan
Lingkungan adalah sesuatu yang berada di sekitar manusia serta pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia (Hidayat, 2004). Sementara dalam UU RI No.23/97 menyebutkan bahwa lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya. Pendapat lain mengatakan, lingkungan hidup adalah suatu sistem komplek yang berada di luar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organism (Bagoes Mantra, 2000).

Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan adalah faktor-faktor yang berada di dalam maupun di luar manusia yang dapat mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan manusia serta makhluk hidup lannya.

2.2.2. Jenis dan Macam Lingkungan
Menurut Syaiful Arif (2007), umumnya ahli lingkungan membagi kriteria lingkungan menjadi 3 golongan besar, yaitu :
a.       Lingkungan fisik          : sesuatu di luar kita sebagai benda mati, seperti cahaya, musim, keadaan geografis, kelembaban.
b.      Lingkungan biologis     : segala sesuatu di sekitar manusia sebagai benda hidup, seperti binatang, tumbuhan, mikroorganisme.
c.       Lingkungan sosial         : lingkungan yang muncul akibat interaksi antar manusia yang hidup secara bermasyarakat, seperti keadaan lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi, norma-norma yang berlaku, adat istiadat, dan kepercayaan.

Menurut Joko Subagyo (2007), lingkungan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
a.       Lingkungan biofisik : lingkungan yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Komponen biotik merupakan makhluk hidup, seperti : manusia, hewan, dan tumbuhan. Dan komponen abiotik terdiri dari benda-benda mati, seperti : tanah, air, udara, cahaya matahari. Kualitas lingkungan biofisik dikatakan baik jika interaksi antar komponen berlangsung seimbang.
b.      Lingkungan sosial ekonomi : lingkungan manusia dalam hubungan dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Standar lingkungan sosial ekoonomi dikatakan baik jika kehidupan manusia tercukupi akan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kebutuhan lainnya.
c.       Lingkungan budaya : segala kondis, baik berupa materi (benda) maupun non materi yang dihasilkan oleh manusia melalui aktifitas dan kreatifitasnya. Lingkungan budaya yang materi dapat berupa bangunan, peralatan, pakaian, senjata dan lain sebagainya. Sedangkan nonmateri dapat berupa tata nilai, norma, adat-istiadat, kesenian, sistem politik, dan lain sebagainya. Standar nilai lingkungan budaya dikatakan baik jika di lingkungan tersebut dapat member rasa aman, nyaman, sejahtera bagi semua anggota masyarakat dalam menjalankan dan mengembangkan sistem budayanya.


2.3. Pengertian PHBS
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam kegiatan–kegiatan kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan–kegiatan kesehatan di masyarakat (Depkes RI, 2007).

PHBS merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk menghasilkan kemandirian di bidang kesehatan baik pada masyarakat maupun pada keluarga, artinya harus ada komunikasi antara kader dengan keluarga/masyarakat untuk memberikan informasi dan melakukan pendidikan kesehatan (Depkes RI, 2007).

2.4. Ruang Lingkup PHBS
            Menurut Atikah Proverawati (2012:13), sekumpulan kegiatan perilaku seseorang dalam kegiatan sehari-hari dengan pedoman perilaku sehat meliputi lima ruang lingkup yaitu:

a.       Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga
b.      Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Institusi Kesehatan
c.       Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Tempat-tempat Umum
d.      Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Sekolah
e.       Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Tempat Kerja

2.5. PHBS di Rumah Tangga
2.5.1.      Pengertian
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga Sehat. Rumah tangga sehat berarti mampu menjaga, meningkatkan, dan melindungi kesehatan setiap anggota rumah tangga dari gangguan ancaman penyakit dan lingkungan yang kurang kondusif untuk hidup sehat (Depkes RI, 2007).

2.5.2.   Tujuan
A. Tujuan Umum
Meningkatnya rumah tangga sehat di desa, kabupaten/ kota di seluruh Indonesia.

B. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuan anggota rumah tangga untuk melaksanakan PHBS.
b.  Berperan aktif dalam gerakan PHBS di masyarakat.

2.5.3. Manfaat PHBS
A. Manfaat Bagi Rumah Tangga          
a. Setiap rumah tangga meningkatkan kesehatannya dan tidak mudah sakit.
b. Anak tumbuh sehat dan cerdas.
c. Produktivitas kerja anggota keluarga meningkat dengan meningkatnya  kesehatan anggota rumah tangga maka biaya yang dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi seperti biaya pendidikan, pemenuhan gizi keluarga dan modal usaha untuk peningkatan pendapatan keluarga.

B. Manfaat Bagi Masyarakat       
a.       Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan yang sehat.
b.      Masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan.
c.       Masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.       
d.      Masyarakat mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) seperti posyandu, jaminan pemeliharaan kesehatan, tabungan bersalin (tabulin), arisan jamban, kelompok pemakai air, ambulans desa dan lain-lain.

2.5.4. Sasaran PHBS
Sasaran PHBS di Rumah Tangga adalah seluruh anggota keluarga yaitu:
1. Pasangan Usia Subur
2. Ibu Hamil dan Ibu Menyusui
3. Anak dan Remaja
4. Usia Lanjut
5. Pengasuh Anak

2.5.5. Indikator PHBS di Rumah Tangga
Pembinaan PHBS di rumah tangga dilakukan untuk mewujudkan Rumah Tangga Sehat. Rumah Tangga Sehat adalah rumah tangga yang memenuhi 7 indikator PHBS dan 3 indikator Gaya Hidup Sehat.


a. Tujuh Indikator PHBS di Rumah Tangga:
1. Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
    Adalah pertolongan persalinan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan, dokter, dan tenaga para medis lainnya).

2. Bayi Diberi ASI Eksklusif
    Adalah bayi usia 0-6 bulan hanya diberi ASI saja sejak lahir sampai usia 6 bulan.

3. Penimbangan Bayi dan Balita
    Penimbangan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan balita setiap bulan dan mengetahui apakah balita berada pada kondisi gizi kurang atau gizi buruk.

4. Mencuci Tangan dengan Air dan Sabun
   a. Air yang tidak bersih banyak mengandung kuman dan bakteri penyebab penyakit. Bila digunakan, kuman berpindah ke tangan. Pada saat makan, kuman dengan cepat masuk ke dalam tubuh yang bisa menimbulkan penyakit.
   b. Sabun dapat mengikat lemak, kotoran dan membunuh kuman. Tanpa sabun, kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan.

5. Menggunakan Air Bersih
    Air yang kita pergunakan sehari-hari untuk minum, memasak, mandi, berkumur,membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur, mencuci pakaian, dan sebagainya haruslah bersih, agar kita tidak terkena penyakit atau terhindar dari penyakit.

6. Menggunakan Jamban Sehat
    Setiap rumah tangga harus memiliki dan menggunakan jamban leher angsa dan tangki septic atau lubang penampungan kotoran sebagai penampung akhir.

7. Rumah Bebas Jentik
    Adalah rumah tangga yang setelah dilakukan pemeriksaan jentik berkala tidak terdapat jentik nyamuk.

b. Tiga Indikator Gaya Hidup Sehat
1. Makan Buah dan Sayur Setiap Hari
    Adalah anggota keluarga umur 10 tahun ke atas yang mengkomsumsi minimal 3 porsi buah dan 2 porsi sayuran atau sebaliknya setiap hari.

2. Melakukan Aktivitas Fisik Setiap Hari
    Adalah anggota rumah tangga umur 10 tahun ke atas melakukan aktivitas fisik 30 menit setiap hari.

3. Tidak Merokok dalam Rumah
    Anggota rumah tangga umur 10 tahun ke atas tidak boleh merokok di dalam rumah ketika berada bersama dengan anggota keluarga yang lainnya.



2.6. Penyediaan Air Bersih
2.6.1. Air Dalam Kehidupan
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan manusia setelah udara. Sekitar tiga per empat tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorang pun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa air minum. Volume air dalam tubuh manusia rata-rata 65% dari total berat badannya, dan volume tersebut sangat bervariasi pada masing-masing orang, bahkan juga bervariasi antara bagian-bagian tubuh seseorang (Chandra, 2007). Dalam kehidupan sehari-hari air dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah. Air juga digunakan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, tranportasi, dan lain-lain.
Menurut perhitungan WHO di negara-negara maju volume rata-rata kebutuhan air setiap individu per hari antara 60-120 liter dan untuk Negara berkembang termasuk Indonesia setiap orang membutuhkan air antara 30-60 liter per hari. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan, dan kebiasaan masyarakat Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air yang terbatas memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat.
2.6.2. Sumber-Sumber Air Bersih
Menurut Chandra (2007) air yang berada di permukaaan bumi ini dapat berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air angkasa (hujan), air permukaan, dan air tanah.
1. Air Angkasa (Hujan)
Air angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi. Walau pada saat presipitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer. Pencemaran yang berlangsung di atmosfer itu dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme dan gas, misalnya karbon dioksida, nitrogen, dan amonia.
2. Air Permukaan
      Air permukaan merupakan salah satu sumber penting bahan baku air bersih. Faktor-faktor yamg harus diperhatikan, antara lain: mutu atau kualitas baku, jumlah atau kuantitasnya, dan kontinuitasnya. Dibandingkan dengan sumber air lain, air permukaan merupakan sumber air yang paling tercemar akibat kegiatan manusia, fauna, flora dan zat-zat lain. Sumber-sumber air permukaan antara lain sungai, selokan, rawa, parit, bendungan, danau, laut, dan air terjun. Air terjun dapat dipakai untuk sumber air di kota-kota besar karena air tersebut sebelumnya sudah dibendung oleh alam dan jatuh secara gravitasi. Air ini tidak tercemar sehingga tidak membutuhkan purifikasi bakterial. Sumber air permukaan yang berasal dari sungai, selokan, dan parit mempunyai persamaan, yaitu airnya mengalir dan dapat menghanyutkan bahan yang tercemar.
Sumber air permukaan yang berasal dari rawa, bendungan dan danau memiliki air yang tidak mengalir, tersimpan dalam waktu yang lama, dan mengandung sisa-sisa pembusukan alam, misalnya pembusukan tumbuh-tumbuhan, ganggang, fungi, dan lain-lain. Air permukaan yang berasal dari air laut mengandung kadar garam yang tinggi sehingga jika akan digunakan untuk air minum, air tersebut harus menjalani proses ion-exchange.
3. Air Tanah
Air tanah (ground water) berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang kemudian mengalami perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami proses fertilisasi secara alamiah. Proses-proses yang telah dialami air hujan tersebut, di dalam perjalanannya ke bawah tanah membuat air tanah menjadi lebih baik dan lebih murni dibandingkan dengan air permukaan. Air tanah memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sumber lain. Pertama, air tanah biasanya bebas dari kuman penyakit dan tidak perlu mengalami proses purifikasi atau penjernihan. Persediaan air tanah juga cukup tersedia sepanjang tahun, saat musim kemarau sekalipun.
Sementara itu, air tanah juga memiliki beberapa kerugian atau kelemahan dibanding sumber lainnya. Air tanah mengandung zat-zat mineral dalam konsentrasi yang tinggi. Kosentrasi yang tinggi dari zat-zat mineral semacam magnesium, kalsium, dan logam berat seperti besi dapat menyebabkan kesadahan air. Selain itu, untuk mengisap dan mengalirkan air ke permukaan diperlukan pompa.
2.6.3. Syarat-Syarat Air Bersih
Kelayakan air dapat diukur secara kualitas dan kuantitas. Kualitas air adalah sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain dalam air yang mencakup kualitas fisik, kimia dan biologis (Effendi, 2003).
Menurut Kusnaedi (2004), syarat-syarat kualitas air bersih, antara lain:
1. Syarat Fisik
Persyaratan fisik untuk air bersih, antara lain: airnya jernih tidak keruh, tidak berwarna, rasanya tawar, tidak berbau, suhunya normal (20-26 ̊ C), tidak mengandung zat padatan.
2. Syarat Kimia
Kualitas air tergolong baik bila memenuhi persyaratan kimia, antara lain: pH netral, tidak mengandung zat kimia beracun, tidak mengandung garam-garam atau ion-ion logam, kesadahan rendah, tidak mengandung bahan kimia anorganik.
3. Syarat Biologis
Air tidak boleh mengandung Coliform. Air yang mengandung golongan Coli dianggap telah terkontaminasi dengan kotoran manusia (Sutrisno, 2004). Berdasarkan PERMENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990, persyaratan bakteriologis air bersih adalah dilihat dari Coliform tinja per 100 ml sampel air dengan kadar maksimum yang diperbolehkan adalah 50.
2.6.4. Menggunakan Air Bersih
Penyakit diare dapat ditularkan melalui makanan dan air yang tercemar oleh bakteri pathogen. Keluarga dapat mengurangi resiko diare dengan menggunakan air bersih yang tersedia dan melindunginya dari kontaminasi baik dari sumbernya maupun di rumah. Sumber air bersih yang memenuhi syarat adalah paling sedikit jaraknya 10 meter dari sumber pencemar seperti penampungan air kotor, tempat pembuangan sampah, jamban/ kakus. Menurut Depkes RI (2007), kegiatan yang dapat dilakukan keluarga adalah:
1. Ambil air dari sumber air yang bersih.
2. Tempat penampungan air harus selalu bersih.
3. Wadah penyimpanan air harus tertutup dan sering dibersihkan.
4. Gayung pengambil air juga harus bersih.
5. Masaklah air sampai mendidih sebelum diminum.
6. Gunakan alat-alat minum yang bersih.
2.7. Menggunakan Jamban Sehat
Penyakit diare dapat ditularkan melalui kotoran manusia, semua orang dalam keluarga harus menggunakan jamban dan jamban harus dalam keadaan bersih agar terhindar dari serangga yang dapat menularkan atau memindahkan penyakit pada makanan. Penggunaan jamban yang sehat dan menjaga kebersihan jamban dapat menurunkan resiko penyakit diare. Menurut Depkes RI (2007), jamban yang memenuhi syarat adalah:
1. Kotoran tidak mencemari permukaan tanah, air tanah dan air permukaan.
2. Cukup terang.
3. Tidak menjadi sarang serangga (nyamuk, lalat, lipan, dan kecoa).
4. Selalu dibersihkan agar tidak menimbulkan bau yang tidak sedap.
5. Cukup lobang angin.
6. Tidak menimbulkan kecelakaan.
Menurut Depkes RI (2007), dalam menjaga jamban jamban tetap sehat dan bersih kegiatan keluarga yang dapat dilakukan adalah:
1.   Bersihkan dinding, lantai dan pintu ruang jamban secara teratur.
2.   Bersihkan jamban secara rutin.
      3.   Cuci dan bersihkan tempat duduk (jika ada) dengan menggunakan sabun dan air bersih.
4.   Perbaiki setiap celah, retak pada dinding, lantai dan pintu.
5.   Jangan membuang sampah di lantai.
6.   Selalu sediakan sabun untuk mencuci tangan.
7.   Yakinkan bahwa ruangan jamban ada ventilasinya.
8.   Tutup lubang ventilasi jamban dengan kasa anti lalat.
9.   Beritahukan pada anak-anak cara menggunakan jamban yang benar.
      10. Cucilah tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir setelah menggunakan jamban.
2.4 Cuci Tangan
Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan hewan, ataupun cairan tubuh lain seperti ingus dan air ludah dapat terkontaminasi oleh kuman-kuman penyakit seperti bakteri, virus dan parasit yang dapat menempel pada permukaaan kulit. Oleh karena itu tangan sangat berperan dalam penularan penyakit, khususnya penyakit yang ditularkan melalui mulut, misalnya diare. Menurut Depkes (2009) tangan akan bebas dari kuman penyakit apabila cuci tangan dengan baik dan benar.
2.4.1. Pengertian Cuci Tangan Pakai Sabun dan Air Mengalir
Menurut Depkes (2009) cuci tangan pakai sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Mencuci tangan dengan air saja tidak cukup. Penggunaan sabun selain membantu singkatnya waktu cuci tangan, dengan menggosok jemari dengan sabun menghilangkan kuman yang tidak tampak minyak/ lemak/ kotoran di permukaan kulit, serta meninggalkan bau wangi. Perpaduan kebersihan, bau wangi dan perasaan segar merupakan hal positif yang diperoleh setelah menggunakan sabun.
2.4.2. Waktu Yang Tepat Cuci Tangan
Menurut Depkes (2009) waktu yang tepat untuk cuci tangan pakai sabun adalah:
1. Sebelum makan.
2. Sesudah membersihkan anak BAB.
3. Sebelum menyiapkan makanan.
4. Sebelum memegang bayi.
5. Sesudah buang air besar.
2.4.3. Cara Cuci Tangan Yang Benar
Mencuci tangan yang benar harus menggunakan sabun dan di bawah air yang mengalir. Sedangkan menurut Depkes (2009) langkah-langkah teknik mencuci tangan yang benar adalah sebagai berikut :
1.  Basahi tangan dengan air di bawah kran atau air mengalir.
2.  Ambil sabun cair secukupnya untuk seluruh tangan.
3.  Gosokkan kedua telapak tangan. Gosokkan sampai ke ujung jari.
4. Telapak tangan kanan menggosok punggung tangan kiri (atau sebaliknya) dengan jari-jari saling mengunci (berselang-seling) antara tangan kanan dan kiri. Gosok sela-sela jari tersebut. Lakukan sebaliknya.
5.  Letakkan punggung jari satu dengan punggung jari lainnya dan saling  mengunci.
6.   Usapkan ibu jari tangan kanan dengan telapak kiri dengan gerakan berputar. Lakukan hal yang sama dengan ibu jari tangan kiri.
7.   Gosok telapak tangan dengan punggung jari tangan satunya dengan gerakan ke depan, ke belakang dan berputar. Lakukan sebaliknya.
8.  Pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri dan lakukan gerakan memutar. Lakukan pula untuk tangan kiri.
9.  Bersihkan sabun dari kedua tangan dengan air mengalir.
10. Keringkan tangan dengan menggunakan tissue dan bila menggunakan kran, tutup kran dengan tissue.

2.6.   PHBS di Sekolah
2.6.1.      Pengertian
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Sekolah adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat (Proverawati, 2012:21).

Ruang lingkup dan tujuan UKS tidak lain mengarah pada praktik perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di sekolah. Karena terdiri dari sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran. Sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat.

Munculnya berbagai penyakit yang sering menyerang anak usia sekolah (6- 10 tahun), ternyata umumnya berkaitan dengan PHBS. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai PHBS di sekolah merupakan kebutuhan mutlak dan dapat dilakukan melalui pendekatan UKS.

2.6.2.      Indikator PHBS di Sekolah
Menurut Maryuani (2013:151), ada beberapa indikator yang dipakai sebagai ukuran untuk menilai PHBS di sekolah atau kegiatan peserta didik dalam menerapkan PHBS di sekolah, antara lain:
1.        Mencuci tangan dengan air yang mengalir dan memekai sabun
2.        Mengonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah
3.        Menggunakan jamban yang bersih di sekolah
4.        Olahraga yang teratur dan terukur
5.        Memberantas jentik nyamuk
6.        Tidak merokok di sekolah
7.        Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan
8.        Membuang sampah pada tempatnya

2.6.3.      Sasaran PHBS di Sekolah
a.          Siswa
b.         Warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan sekolah, komite sekolah dan orang tua siswa)
c.          Masyarakat lingkungan sekolah (penjaga kantin, satpam, dll) (Proverawati, 2012:23)

2.6.4.      Manfaat PHBS di Sekolah
1.         Terciptanya sekolah yang bersih dan sehat sehingga siswa, guru dan masyarakat lingkungan sekolah terlindungi dari berbagai gangguan dan ancaman penyakit.
2.         Meningkatkan semangat proses belajar mengajar yang berdampak pada prestasi belajar siswa.
3.         Citra sekolah sebagai institusi pendidikan semakin meningkat sehingga mampu menarik minat orang tua.
4.         Meningkatkan citra pemerintah di bidang pendidikan.
5.         Menjadi percontohan sekolah sehat bagi daerah lain (Proverawati, 2012:23).

2.6.5.      Alasan Pentingnya PHBS untuk Anak Usia Sekolah
            Menurut Maryuani (2013:152), ada beberapa alasan pentingnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat diterapkan pada anak usia sekolah, antara lain:
1.         Anak usia sekolah termasuk kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi.
2.         Anak usia sekolah adalah waktu yang paling tepat untuk menanamkan pengertian dan kebiasaan hidup sehat.
3.         Anak sekolah merupakan kelompok terbesar dari golongan anak-anak, terutama di negara yang mengenal wajib belajar.
4.         Sekolah adalah salah satu institusi masyarakat yang telah terorganisir secara baik.
5.         Kesehatan anak usia sekolah akan menentukan kesehatan masyarakat dan bangsa di masa depan.

2.6.6.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Pelaksanaan PHBS
            Penyebab rendahnya atau menurunnya pelaksanaan PHBS dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
a.       Faktor perilaku dan non perilaku fisik
b.      Faktor sosial ekonomi
c.       Faktor teknis
d.      Faktor geografi
e.       Faktor kurangnya upaya promotif tentang kesehatan khususnya mengenai PHBS dari puskesmas dan instansi kesehatan lain seperti puskesmas (Maryuani, 2013:154)

2.6.7.      Pembinaan PHBS di Tatanan Sekolah
a.       Pembinaan PHBS di tatanan sekolah/ institusi pendidikan dilaksanakan melalui kegiatan Usaha Kesehatan sekolah (UKS).
b.      Kegiatan Usaha Kesehatan sekolah (UKS) ini terintegrasi dengan kegiatan pengembangan dan pembinaan Desa Siaga dan Kelurahan Siaga Aktif.
c.       Tanggung jawab terendah pembinaan PHBS di tatanan sekolah/ institusi pendidikan adalah di tingkat kabupaten/ kota (bukan di tingkat kecamatan).

2.6.8.      Langkah-langkah Pembinaan PHBS di Sekolah
a.      Analisis Situasi
Penentuan kebijakan/pimpinan di sekolah melakukan pengajian ulang tentang ada tidaknya kebijakan tentang PHBS di sekolah serta bagaimana sikap dan perilaku khalayak sasaran (siswa, warga sekolah dan masyarakat lingkungan sekolah) terhadap kebijakan PHBS di sekolah. Kajian ini untuk memperoleh data sebagai dasar membuat kebijakan.

b.      Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Kebijakan PHBS di Sekolah
Pihak pimpinan sekolah mengajak bicara/ berdialog guru, komite sekolah dan tim pelaksana atau Pembina UKS tentang:

1)      Maksud, tujuan, dan manfaat penerapan PHBS di Sekolah
2)      Membahas rencana kebijakan tentang penerapan PHBS di Sekolah
3)      Meminta masukan tentang penerapan PHBS di Sekolah, antisipasi kendala dan sekaligus alternatif solusi, menetapkan penanggungjawab PHBS di Sekolah dan mekanisme pengawasannya.
4)      Membahas cara sosialisasi yang efektif bagi siswa, warga sekolah dan masyarakat sekolah.
5)      Pimpinan Sekolah membentuk Kelompok Kerja Penyusunan Kebijakan PHBS di Sekolah.
9 Suplemen | 2011
c.       Penyiapan Infrastruktur
1)      Membuat surat keputusan tentang penanggung jawab dan pengawasan PHBS di Sekolah.
2)      Instrumen pengawasan.
3)      Materi sosialisasi penerapan PHBS di Sekolah.
4)      Pembuatan dan penempatan pesan di tempat-tempat strategis di sekolah.
5)      Mekanisme dan saluran pesan PHBS di Sekolah.
6)      Pelatihan bagi pengelola PHBS di Sekolah.

d.      Sosialisasi penerapan PHBS di Sekolah
1)      Sosialisasi penerapan PHBS di Sekolah di lingkungan internal sekolah.
2)      Sosialisasi tugas dan penanggungjawab PHBS di Sekolah.



e.       Penerapan PHBS di Sekolah
1)      Menanamkan nilai-nilai untuk ber-PHBS kepada siswa sesuai kurikulum yang berlaku.
2)      Menanamkan nilai-nilai untuk ber-PHBS kepada siswa yag dilakukan di luar jam pelajaran biasa, seperti: kerja bakti dan lomba kebersihan kelas, aktivitas kader kesehatan sekolah/ dokter kecil, pemeliharaan jamban sekolah, pemeriksaan jentik nyamuk di sekolah, demo/ gerakan cuci tangan dan gosok gigi yang baik dan benar, pembudayaan olahraga yang teratur dan terukur, pemeriksaan rutin kebersihan kuku-rambut-telinga-gigi-dan sebagainya.
3)      Bimbingan hidup bersih dan sehat melalui konseling.
4)      Kegiatan penyuluhan dan latihan keterampilan dengan melibatkan peran aktif siswa, guru, dan orangtua, antara lain melalui penyuluhan kelompok, pemutaran kaset radio/ film, penempatan media poster, penyebaran leaflet dan membuat majalah dinding.

f.       Pemantauan dan Evaluasi

1)      Lakukan pemantauan dan evaluasi secara periodik tentang kebijakan yang telah dilaksanakan.
2)      Minta pendapat Pokja PHBS di Sekolah dan lakukan kajian terhadap masalah yang ditemukan.
3)      Putuskan apakah perlu penyesuaian terhadap kebijakan.

g.      Dukungan dan Peran untuk Membina PHBS di Sekolah
Adanya kebijakan dan dukungan dari pengambil keputusan seperti Bupati, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Kesehatan, DPRD, Lintas Sektor sangat penting untuk pembinaan PHBS di sekolah demi terwujudnya sekolah sehat. Di samping itu, peran dari berbagai pihak terkait (Tim Pembina dan Pelaksana UKS), sedangkan masyarakat sekolah berpartisipasi dalam berperilaku hidup bersih dan sehat baik di sekolah maupun di masyarakat. Semoga dengan UKS di setiap sekolah, setiap peserta didik, guru dan masyarakat di sekitar sekolah dapat menerapkan PHBS. Sehingga secara langsung dan tidak langsung mereka mampu menjadi agen perubahan di tengah masyarakat di bidang kesehatan. Dengan demikian, ke depan, kita dapat secara realistis mewujudkan generasi emas bangsa Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA


Abraham, Charles. 1997. Psikologi Sosial untuk Perawat. Jakarta : EGC.
Maryuani, Anik. 2013. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jakarta : Trans Info Media.
Niven, Neil. 2002. Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat & Profesional Kesehatan Lain. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Proverawati, Atika dan Eni Rahmawati. 2012. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Yogyakarta : Nuha Medika.
Puspita Sari, Ratih. 2008. KTI tentang Hubungan Lingkungan dengan Tuberculosis. Sidoarjo : Prodi S1 Keperawatan Poltekes.