Tugas Keperawatan Komunitas III
PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT
( PHBS )
Oleh :
Kelompok 14
1.
Fitrianti Wulan
N. 101.0044
2.
Gabrielle
Nareswara A. 101.0046
3. Yusuf Afandi 101.0118
PROGRAM STUDI S1
KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI
ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Menurut WHO, setiap
tahunnya sekitar 2,2 juta orang di negara-negara berkembang terutama anak-anak
meninggal dunia akibat berbagai penyakit yang disebabkan oleh kurangya air
minum yang aman, sanitasi dan hygiene yang buruk.
Oleh karena itu, terdapat
bukti bahwa pelayanan sanitasi yang memadai, persediaan air yang aman, sistem
pembuangan sampah serta pendidikan hygiene dapat menekan tingkat kematian
akibat Diare sampai 65%, serta penyakit-penyakit lainnya sebanyak 26%.
Bersamaan dengan masuknya
tahun milenium baru, Departemen
Kesehatan telah mencanangkan Gerakan
Pembangunan Berwawasan Kesehatan, yang dilandasi paradigma sehat.
Paradigma Sehat adalah cara pandang, pola pikir atau model pembangunan
kesehatan yang bersifat holistik, melihat masalah kesehatan yang dipengaruhi
oleh banyak faktor yang bersifat lintas sektor, dan upayanya lebih diarahkan
pada peningkatan, pemeliharaan dan perlindungan kesehatan.
Berdasarkan paradigma
sehat ditetapkan visi Indonesia Sehat 2010, dimana ada 3 pilar yang perlu
mendapat perhatian khusus, yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat serta
pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata. Untuk perilaku sehat bentuk
konkritnya yaitu perilaku proaktif memelihara dan meningkatkan kesehatan.
mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit
serta berpartisipasi aktif dalam upaya kesehatan. Mengingat dampak dari
perilaku terhadap derajat kesehatan cukup besar (30-35% terhadap derajat
kesehatan), maka diperlukan berbagai upaya untuk mengubah perilaku yang tidak
sehat menjadi sehat. Salah satunya melalui program Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS).
Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat 2010 atau PHBS 2010 adalah keadaan dimana individu-individu dalam rumah
tangga (keluarga) masyarakat Indonesia telah melaksanakan perilaku hidup bersih
dan sehat (PHBS) dalam rangka :
1.
Mencegah timbulnya penyakit dalam
masalah-masalah kesehatan lain.
2.
Menanggulangi penyakit dan
masalah-masalah kesehatan lain, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan.
3.
Memanfaatkan pelayanan kesehatan.
4. Mengembangkan dan menyelenggarakan upaya kesehatan
bersumber masyarakat.
Namun,
secara nasional penduduk yang telah memenuhi kriteria PHBS baik pada tahun 2011
hanya 55% dan diharapkan mencapai 70% pada tahun 2014.
1.2.
Rumusan Masalah
Bagaimana konsep teori tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) ?
1.3.
Tujuan
1.3.1.
Tujuan Umum
Menjelaskan konsep teori tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
1.3.2.
Tujuan Khusus
a.
Menjelaskan
konsep dasar perilaku kesehatan.
b.
Menjelaskan
konsep dasar lingkungan.
c.
Menjelaskan
konsep teori tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1. Konsep Dasar Perilaku Kesehatan
2.1.1. Definisi Perilaku Sehat
Perilaku adalah merupakan
perbuatan/ tindakan dan perkataan seseorang yang sifatnya dapat diamati,
digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun orang yang melakukannya
(Maryuani, 2013:24).
Perilaku kesehatan (health behavior) adalah respons
seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit,
penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti
lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010:23).
2.1.2.
Model Perilaku Sehat
Kasl dan Cobb (1996) membuat perbedaan
diantara tiga tipe yang berbeda dari perilaku kesehatan:
1. Perilaku kesehatan
Merupakan suatu aktivitas dilakukan oleh
individu yang meyakini dirinya sehat untuk tujuan mencegah penyakit atau
mendeteksinya dalam tahap asimptomatik.
2. Perilaku sakit
Merupakan aktivitas dimana yang dilakukan oleh
individu yang merasa sakit, untuk mendefinisikan keadaan kesehatannya dan untuk
menemukan pengobatan mandiri yang tepat.
3. Perilaku peran sakit
Merupakan aktivitas yang dilakukan untuk
tujuan mendapatkan kesejahteraan, oleh individu yang mempertimbangkan diri
mereka sendiri sakit. Hal ini mencangkup mendapatkan pengobatan dari ahli
terapi yang tepat, seara umum mencangkup seluruh rentang perilaku mandiri dan
menimbulkan beberapa derajat penyimpangan terhadap tugas kebiasaan seseorang.
Model-model tersebut didiskusikan secara
esensial dengan memperhatikan pemahaman dan memperkiraan perilaku sehat.
2.1.3.
Model Keyakinan Kesehatan
Model ini dikembangkan
oleh empat ahli psikologis yaitu : Hochbaum, Kegeles, Leventhal dan Rosenstock
(Rosenstock 1974) untuk memprediksikan perilaku kesehatan preventif individu.
Model ini selanjutnya di ubah oleh Becker dan Maiman (1975) untuk memasukkan
perilaku peran sakit dan mematuhi program medikal. Kesiapan untuk menjelaskan
tindakan dan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan tergantung pada
beberapa faktor. Dua faktor yang pertama memperhatikan seberapa luas individu
rentang terhadap enyakit tertentu. Ini mencangkup apakah mereka merasa rentan
untuk menderita sakit dan pikiran-pikiran merka tentang seberapa berat sakit
tersebut :
1. Kerentanan
Suatu keyakinan
seorang individu tentang apakah ia mungkin menderita sakit.
2. Keparahan
Suatu
derajat dimana individu mersakan akibat dari menderita sakit menjadi parah.
Bersama-sama
kedua faktor ini terdiri dari apa yang diketahui sebagai ancaman yang dirasakan
dari suatu penyakit, kadang-kadang sebagi suatu kerentanan. Dan dua faktor
selanjutnya ditekankan dengan pro dan kontra tentang melakukan beberapa
tindakan untuk melawan penyakit. “ apa yang harus dilakukan? apa yang harus
saya bayar?”
1. Keuntungan
Ini
merujuk pada potensial ditingkatkan dari program tindakan tertentu yang akan
menurangi ancaman kesehatan.
2. Hambatan
Adanya
kepitusan untuk bertindak akan mempunyai sejumlah akibat tertentu. Disini
mungkin ada derajat distress fisik, psikologis atau finansial yang berhubungan
dengan bentuk tindakan apapun.
Dalam tahap berikutnya, sebagai pasien harus
“membangunkan” keuntungan yang mungkin timbul dari perubahan gaya hidup
terhadap dirinya dengan arti dia mungkin “membuang” tindakan yang buruk dalam
hidupnya. Setelah mempertimbangkan empat faktor ini, pasien dapat memtuskan
untuk mengambil beberapa bentuk tindakan, tetapi ada dua faktor yang dapat
merangsang untuk melakukan sesuatu terhadap kondisinya :
1. Petunjuk tindakan adalah stimuli yang
mentriger perilaku kesehtan yang tepat. Petunjuk ini dapat baik internal
(status jasmani) ataupun eksrenal (stimulus dari lingkungan seperti media
masa).
2. Berbagai faktor. Hal ini mencakup faktor
demografis, etnik, sosial, dan personalitas yang dapat mempengaruhi perilaku
kesehatan.
Becker et al (1977) mencakup tujuh faktor
dalam perbaikkan mereka terhadap model, yang predisposisi atau motivasi
terhadap individu untuk ikut serta dalam praktik yang berhubungan dengan
kesehatan. Becker et al menyatakan model keyakinan kesehatan adalah alat yang
bermanfaat dalam memprediksi derajat dimana individu kemungkinan memainkan
peran aktif dalam perawatan kesehatan mereka dan orang lain. Mereka memberikan
suatuh contoh model dalam tindakan upaya untuk memperkirakan apakah ibu dari
anak yang gemuk akan menepati perjanjian jadwal klinis mereka. Subjek dari
eksperimen adalah 182 ibu dari anak yang baru du diagnosis sebagai kegemukkan.
Lebih dari periode 12 bulan, subjek ini di tuntut untuk mengunjungi klinik
empat kali. Ini adalah tindakan perilaku actual mereka, mereka juga mengukur
jumlah perubahan berat badan yang terjadi selama periode ini.
Suatu kuesioner digunakan untuk menambah
informasi tentang keyakinan kesehatan ibu berkenan dengan pokok-pokok seperti
bagaimana anak menjadi sakit, parahnya kelebihan berat badan yang diakibatkan
oleh penyakit serius, apakah ada masalah yang berhubungan dengan diet bila anak
tidak menginginkan berbuat apapun dengan hal tersebut: suatu pengkajian tentang
masalah pribadi ibu tentang perawatan kesehatan secara umum dan luasnya
keinginan mereka untuk ikut dalam praktik yang berhubungan dengan kesehatan yang
dipengaruhi oleh kepatuhan (motivasi).
Hasilnya yang menunjukkan bahwa ada hubungan
antara keyakinan kesehatan ibu dan penurunan kegemukkan lebih dari periode 12
bulan. Lebih dari setengah dari korelasi antara pokok-pokok kuesioner dan
kehadiran di klinik plus penurunan berat badan sehingga signifikasi. Namun
model keyakian kesehatan tampak lebih baik dari perkiraan hasil perilaku actual
misalnya penurunan berat badan daripada perilaku itu sendiri missal menepati
perjanjian di klinik.
Tidak ada keraguan bahwa model keyakinan
kesehatan dapat menjadi pedoman bermanfaat untuk perilaku kesehatan dalam
situasi tertentu (Resenstock, 1974 dan Rosenstock dan Kirscht, 1979), tetapi ada
kritisme. Pertama, perumusan kembali yang di ajukan oleh Becker dan Maiman
membuat teori yang sulit digunakan dengan 11 faktor “kesiapan” dan 23 faktor “
memungkinkan”. Hal ini secara jelas terdapat banyak variable daripada dapat
dimasukkannya sebuah study mana pun (Wallson & Wallston 1984). Kedua, model
yang memperlakukan individu sebagai pembuat keputusan rasional. Janis (1984)
menyatakan yang terpenting adalah bahwa model kesehatan, gagal untuk
menguraiakan dalam kondisi apa individu akan memberikan prorotas untuk
menghindari ketidaknyamanan subjektif pada biaya yang mengancam kehidupan
mereka, dan pada kondisi apa mereka akan membuat keputusan lebih rasional.
Akhirnya Wallston & Wallston berpikir bahwa dengan mengkombinasikan
predaktor keyakinan kesehatan secara interaktof dapat memperbaiki lebih baik
daripada secara sederhana menambahkannya menjadi satu.
2.1.4.
Model Lokus Kontrol
Rotter (1954) mengajukan bahwa perilaku adalah
suatu fungsi keyakinan individu dimana perilaku akan menimbulkan penguatan
(harapan) dan seberapa banyak penguatan disukai (nilai penguatan). Faktor yang
penting dalam menetukan harapan yang digeneralisai adalah lokus control. Untuk
mengukur harapan yang digeneralisasikan hampir satu lusin pengukuran lokus
control yang berbeda telah dikembangkan ( Lefcourt 1982) tetapi tes yang
dianjurkan Rotter diketahui sebagai Skala I-E. Pertimbangkan pernyataan berikut
:
1. a. Banyak individu dapat digambarkan sebagai
korban takdir.
b. Apa yang terjadi pada individu lain adalah
benar-benar perbuatan mereka sendiri.
2. a. Kebanyakan
dari segala sesuatu yang terjadi pada saya adalah keberuntungan.
b.
Saya dalam kontrol sepenuhnya terhadap nasib saya.
3. a. Dunia yang diketahui disusun menurut
desain agung, tapi saya tidak dapat menyusunnya.
b. Dunia ini rumit, tetapi
saya selalu dapat menyusun segala sesuatu bila saya berusaha cukup keras.
4. a. Adakah bodoh pikiran bahwa anda dapat
mengubah keyakinan orang lain.
b. Saya
tahu kapan saya benar dan dapat meyakinkan orang lain.
Bila
anda setuju degan pernyataan yang di tandai dengan “a” maka anda mempnyai lokus
kontol eksterna, yaiu anda meyakini bahwa kita bukan ahli tentang takdir kit
sendiri dan adalah subjek untuk control kekuatan luar seperti keberuntungan
atau nasib. Bila anda setuju dengan pernyataan yang ditandai dengan “b”, maka
anda mempunyai lokus control internal. Anda yakin bahwa anda mempunyai
keyakinan untuk mempengaruhi dan menentukan gambaran yang mempengaruhi hidup
anda. Bila anda mempunyai lokus control eksternal, maka anda sedikit kemungkinan
untuk masuk dalam perilaku yang mempunyai efek positif dalam hidup anda, dengan
meyakini bahwa tidak masalah apa yang anda lakukan, takdir telah memutuskan
untuk anda. Bila di lain pihak, anda memunyai lokus kontrol internal maka anda
lebih mungkin untuk melakukan sesuai untuk diri anda sendiri, karena anda yakin
bahwa anda dapat mempunyai perkataan signifikai dalam bagaimana menjalani
hidup.
Suatu
peningkatan jumlah penelitian kesehatan yang telah menukur keakinan lokus
control dan telah beruaya utuk menghubungkan harapa terhadap penjamu dari
perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (Oberle, 1991). Beberapa study ini
menggunakan suatu skala yang tidak memperhatikan factor kesehatan ( Levenso
1973), yang lain telah menghubungkan pook-pokok kesehatan khusus keadaan skala
merek ( Wallson & Wallston 1984). Beberapa study the menemukan bahwa
seorang individu paling mungkin untuk mengikuti perilaku sehat bila ia
mempunyai keyakinan alam lokus control kesehatan internal dan penilainan yang
tinggi terhadap kesehatan, yang lain menemukan hal yang sebaliknya benar.
Contoh.
De vellis e al (1980) meminta indivdu
dengan epilepsy untk mengisi suatu format yang memberikan informasi tentang
empat poko perilaku : kegagalan menggunakan obat, frekuensi mengemudi, konsumsi
alkohol dan keinginan untuk mengikuti dalam mencari informasi tentang epilepsy
lebih banyak. Mereka juga diberi skala lokus control kesehatan mulidimensi.
Perilaku eksperimen menemukan hubungan menarik antara individu yang mempunyai
control internal dan ketaatan pada nasihat medik. Individu yang mempunyai
keyakinan lebih tinggi dalam control internal kurang mungkin untuk menaati
naihat medis, lebih banyak mengendari kendraan, minum alcohol dan lebih mungkin
untuk mencari ibformasi mengenai epilepsy. Hal ini mungkin bahwa individu
dengan keyakianan internal mmpunyai kebbasan untuk memutukan untuk diri mereka
sendiri kapan tepatnya untuk tidak menaati. Sebagai contoh, bila kejang dalam
control yang baik, mengendarai kendraan mungkin menjadi resiko yang tepat.
Karenanya individu yang mempunyai lokus control internal mungkin lebih
bermotivasi untu mengambil tindakan mengenai kesehatan mereka, tetapi kadang
kadang kurang mungkin untuk mentaati
nasihat medis.
Terdapat
sejumlah kekurangan pada pendekatan ini. Pertama, nilai prediktifnya tidak
dapat di percaya seperti model keyakiana kesehatan ( Wallston & Wallston
1984). Kedua, prediksi tentang perilaku dari sikap yang menuntut korespondensi
tinggi ; ni meragukan apakah model dapat mengatasi kesulitan ini. Stainton
–Rogers (19910 memikirkan model ini secara total tidak tepat sebagai penjelasan
perilaku sehat : namun Obrle (1991) berpikir bahwa masalah utaanya bukan pada
konsep lokus control itu sendiri tetapi standart study yang telah menggunakan
,odel. Akhirnya, hal ini mungkin lebih menguntungkan untuk menyelidiki bentuk
lain serta lokus kontrol yang didefinisikan berdasarkan situasi khusus.
2.2. Konsep Dasar Lingkungan
2.2.1. Pengertian Lingkungan
Lingkungan adalah
sesuatu yang berada di sekitar manusia serta pengaruh luar yang mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan manusia (Hidayat, 2004). Sementara dalam UU RI
No.23/97 menyebutkan bahwa lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya
yang mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.
Pendapat lain mengatakan, lingkungan hidup adalah suatu sistem komplek yang
berada di luar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organism
(Bagoes Mantra, 2000).
Dari pengertian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan adalah faktor-faktor yang berada di
dalam maupun di luar manusia yang dapat mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan dan
perkembangan, kesehatan manusia serta makhluk hidup lannya.
2.2.2. Jenis dan
Macam Lingkungan
Menurut Syaiful Arif
(2007), umumnya ahli lingkungan membagi kriteria lingkungan menjadi 3 golongan
besar, yaitu :
a.
Lingkungan fisik : sesuatu di luar kita sebagai benda
mati, seperti cahaya, musim, keadaan geografis, kelembaban.
b.
Lingkungan
biologis : segala sesuatu di sekitar
manusia sebagai benda hidup, seperti binatang, tumbuhan, mikroorganisme.
c.
Lingkungan
sosial : lingkungan yang muncul
akibat interaksi antar manusia yang hidup secara bermasyarakat, seperti keadaan
lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi, norma-norma yang berlaku, adat
istiadat, dan kepercayaan.
Menurut
Joko Subagyo (2007), lingkungan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
a.
Lingkungan
biofisik : lingkungan yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang
berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Komponen biotik merupakan
makhluk hidup, seperti : manusia, hewan, dan tumbuhan. Dan komponen abiotik
terdiri dari benda-benda mati, seperti : tanah, air, udara, cahaya matahari.
Kualitas lingkungan biofisik dikatakan baik jika interaksi antar komponen
berlangsung seimbang.
b.
Lingkungan
sosial ekonomi : lingkungan manusia dalam hubungan dengan sesamanya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Standar lingkungan sosial ekoonomi dikatakan baik
jika kehidupan manusia tercukupi akan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan
kebutuhan lainnya.
c.
Lingkungan
budaya : segala kondis, baik berupa materi (benda) maupun non materi yang
dihasilkan oleh manusia melalui aktifitas dan kreatifitasnya. Lingkungan budaya
yang materi dapat berupa bangunan, peralatan, pakaian, senjata dan lain
sebagainya. Sedangkan nonmateri dapat berupa tata nilai, norma, adat-istiadat,
kesenian, sistem politik, dan lain sebagainya. Standar nilai lingkungan budaya
dikatakan baik jika di lingkungan tersebut dapat member rasa aman, nyaman,
sejahtera bagi semua anggota masyarakat dalam menjalankan dan mengembangkan
sistem budayanya.
2.3. Pengertian PHBS
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah semua
perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau
keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan dapat berperan
aktif dalam kegiatan–kegiatan kesehatan dan berperan aktif dalam
kegiatan–kegiatan kesehatan di masyarakat (Depkes RI, 2007).
PHBS merupakan salah satu strategi yang
dapat ditempuh untuk menghasilkan kemandirian di bidang kesehatan baik pada
masyarakat maupun pada keluarga, artinya harus ada komunikasi antara kader
dengan keluarga/masyarakat untuk memberikan informasi dan melakukan pendidikan
kesehatan (Depkes RI, 2007).
2.4. Ruang
Lingkup PHBS
Menurut
Atikah Proverawati (2012:13), sekumpulan kegiatan perilaku seseorang dalam
kegiatan sehari-hari dengan pedoman perilaku sehat meliputi lima ruang lingkup
yaitu:
a. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga
b. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat di Institusi Kesehatan
c. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat di Tempat-tempat Umum
d. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat di Sekolah
e. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat di Tempat Kerja
2.5. PHBS di
Rumah Tangga
2.5.1.
Pengertian
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk
memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan
perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di
masyarakat. PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga Sehat.
Rumah tangga sehat berarti mampu menjaga, meningkatkan, dan melindungi
kesehatan setiap anggota rumah tangga dari gangguan ancaman penyakit dan
lingkungan yang kurang kondusif untuk hidup sehat (Depkes RI, 2007).
2.5.2.
Tujuan
A.
Tujuan Umum
Meningkatnya
rumah tangga sehat di desa, kabupaten/ kota di seluruh Indonesia.
B.
Tujuan Khusus
a.
Meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuan anggota rumah tangga untuk
melaksanakan PHBS.
b.
Berperan aktif dalam gerakan PHBS di
masyarakat.
2.5.3. Manfaat PHBS
A.
Manfaat Bagi Rumah Tangga
a. Setiap rumah tangga
meningkatkan kesehatannya dan tidak mudah sakit.
b. Anak tumbuh sehat
dan cerdas.
c.
Produktivitas kerja anggota keluarga meningkat dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya
yang dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi seperti
biaya pendidikan, pemenuhan gizi keluarga dan modal usaha untuk peningkatan
pendapatan keluarga.
B.
Manfaat Bagi Masyarakat
a. Masyarakat
mampu mengupayakan lingkungan yang sehat.
b. Masyarakat
mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan.
c. Masyarakat
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
d. Masyarakat
mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) seperti
posyandu, jaminan pemeliharaan kesehatan, tabungan bersalin (tabulin), arisan
jamban, kelompok pemakai air, ambulans desa dan lain-lain.
2.5.4. Sasaran PHBS
Sasaran PHBS di Rumah Tangga adalah seluruh anggota
keluarga yaitu:
1. Pasangan Usia Subur
2. Ibu Hamil dan Ibu
Menyusui
3. Anak dan Remaja
4. Usia Lanjut
5. Pengasuh Anak
2.5.5.
Indikator PHBS di Rumah Tangga
Pembinaan PHBS di rumah tangga dilakukan untuk
mewujudkan Rumah Tangga Sehat. Rumah Tangga Sehat adalah rumah tangga yang
memenuhi 7 indikator PHBS dan 3 indikator Gaya Hidup Sehat.
a. Tujuh Indikator PHBS di Rumah
Tangga:
1. Pertolongan Persalinan oleh Tenaga
Kesehatan
Adalah pertolongan persalinan dalam rumah
tangga yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan, dokter, dan tenaga para
medis lainnya).
2. Bayi Diberi ASI Eksklusif
Adalah bayi usia 0-6 bulan hanya diberi ASI
saja sejak lahir sampai usia 6 bulan.
3.
Penimbangan Bayi dan Balita
Penimbangan balita dimaksudkan untuk
memantau pertumbuhan balita setiap bulan dan mengetahui apakah balita berada
pada kondisi gizi kurang atau gizi buruk.
4. Mencuci Tangan dengan Air dan Sabun
a. Air yang tidak bersih banyak mengandung
kuman dan bakteri penyebab penyakit. Bila digunakan, kuman berpindah ke tangan.
Pada saat makan, kuman dengan cepat masuk ke dalam tubuh yang bisa menimbulkan
penyakit.
b. Sabun dapat mengikat lemak, kotoran dan
membunuh kuman. Tanpa sabun, kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan.
5. Menggunakan Air Bersih
Air yang kita pergunakan sehari-hari untuk
minum, memasak, mandi, berkumur,membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur,
mencuci pakaian, dan sebagainya haruslah bersih, agar kita tidak terkena penyakit
atau terhindar dari penyakit.
6. Menggunakan Jamban Sehat
Setiap rumah tangga harus memiliki dan
menggunakan jamban leher angsa dan tangki septic atau lubang penampungan
kotoran sebagai penampung akhir.
7. Rumah Bebas Jentik
Adalah rumah tangga yang setelah dilakukan
pemeriksaan jentik berkala tidak terdapat jentik nyamuk.
b. Tiga Indikator Gaya Hidup Sehat
1.
Makan Buah dan Sayur Setiap Hari
Adalah anggota keluarga umur 10 tahun ke
atas yang mengkomsumsi minimal 3 porsi buah dan 2 porsi sayuran atau sebaliknya
setiap hari.
2.
Melakukan Aktivitas Fisik Setiap Hari
Adalah anggota rumah tangga umur 10 tahun
ke atas melakukan aktivitas fisik 30 menit setiap hari.
3.
Tidak Merokok dalam Rumah
Anggota rumah tangga umur 10 tahun ke atas
tidak boleh merokok di dalam rumah ketika berada bersama dengan anggota
keluarga yang lainnya.
2.6. Penyediaan
Air Bersih
2.6.1.
Air Dalam Kehidupan
Air
merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan manusia setelah udara.
Sekitar tiga per empat tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorang pun dapat bertahan
hidup lebih dari 4-5 hari tanpa air minum. Volume air dalam tubuh manusia rata-rata
65% dari total berat badannya, dan volume tersebut sangat bervariasi pada masing-masing
orang, bahkan juga bervariasi antara bagian-bagian tubuh seseorang (Chandra,
2007). Dalam kehidupan sehari-hari air dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi,
dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah. Air juga digunakan untuk
keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, tranportasi,
dan lain-lain.
Menurut
perhitungan WHO di negara-negara maju volume rata-rata kebutuhan air setiap
individu per hari antara 60-120 liter dan untuk Negara berkembang termasuk
Indonesia setiap orang membutuhkan air antara 30-60 liter per hari. Kebutuhan
air tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan,
dan kebiasaan masyarakat Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat,
penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena
persediaan air yang terbatas memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat.
2.6.2.
Sumber-Sumber Air Bersih
Menurut
Chandra (2007) air yang berada di permukaaan bumi ini dapat berasal dari berbagai
sumber. Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air angkasa (hujan),
air permukaan, dan air tanah.
1.
Air Angkasa (Hujan)
Air
angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi. Walau pada saat
presipitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami
pencemaran ketika berada di atmosfer. Pencemaran yang berlangsung di atmosfer
itu dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme dan gas, misalnya
karbon dioksida, nitrogen, dan amonia.
2.
Air Permukaan
Air permukaan merupakan salah satu sumber
penting bahan baku air bersih. Faktor-faktor yamg harus diperhatikan, antara
lain: mutu atau kualitas baku, jumlah atau kuantitasnya, dan kontinuitasnya. Dibandingkan
dengan sumber air lain, air permukaan merupakan sumber air yang paling tercemar
akibat kegiatan manusia, fauna, flora dan zat-zat lain. Sumber-sumber air
permukaan antara lain sungai, selokan, rawa, parit, bendungan, danau, laut, dan
air terjun. Air terjun dapat dipakai untuk sumber air di kota-kota besar karena
air tersebut sebelumnya sudah dibendung oleh alam dan jatuh secara gravitasi.
Air ini tidak tercemar sehingga tidak membutuhkan purifikasi bakterial. Sumber
air permukaan yang berasal dari sungai, selokan, dan parit mempunyai persamaan,
yaitu airnya mengalir dan dapat menghanyutkan bahan yang tercemar.
Sumber
air permukaan yang berasal dari rawa, bendungan dan danau memiliki air yang
tidak mengalir, tersimpan dalam waktu yang lama, dan mengandung sisa-sisa pembusukan
alam, misalnya pembusukan tumbuh-tumbuhan, ganggang, fungi, dan lain-lain. Air permukaan
yang berasal dari air laut mengandung kadar garam yang tinggi sehingga jika
akan digunakan untuk air minum, air tersebut harus menjalani proses ion-exchange.
3.
Air Tanah
Air
tanah (ground water) berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi
yang kemudian mengalami perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami
proses fertilisasi secara alamiah. Proses-proses yang telah dialami air hujan
tersebut, di dalam perjalanannya ke bawah tanah membuat air tanah menjadi lebih
baik dan lebih murni dibandingkan dengan air permukaan. Air tanah memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan sumber lain. Pertama, air tanah biasanya bebas
dari kuman penyakit dan tidak perlu mengalami proses purifikasi atau
penjernihan. Persediaan air tanah juga cukup tersedia sepanjang tahun, saat
musim kemarau sekalipun.
Sementara
itu, air tanah juga memiliki beberapa kerugian atau kelemahan dibanding sumber
lainnya. Air tanah mengandung zat-zat mineral dalam konsentrasi yang tinggi.
Kosentrasi yang tinggi dari zat-zat mineral semacam magnesium, kalsium, dan
logam berat seperti besi dapat menyebabkan kesadahan air. Selain itu, untuk
mengisap dan mengalirkan air ke permukaan diperlukan pompa.
2.6.3.
Syarat-Syarat Air Bersih
Kelayakan
air dapat diukur secara kualitas dan kuantitas. Kualitas air adalah sifat air
dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain dalam air yang
mencakup kualitas fisik, kimia dan biologis (Effendi, 2003).
Menurut Kusnaedi
(2004), syarat-syarat kualitas air bersih, antara lain:
1.
Syarat Fisik
Persyaratan fisik untuk air bersih,
antara lain: airnya jernih tidak keruh, tidak berwarna, rasanya tawar, tidak
berbau, suhunya normal (20-26 ̊ C), tidak mengandung
zat padatan.
2.
Syarat Kimia
Kualitas air tergolong baik bila
memenuhi persyaratan kimia, antara lain: pH netral, tidak mengandung zat kimia
beracun, tidak mengandung garam-garam atau ion-ion logam, kesadahan rendah, tidak
mengandung bahan kimia anorganik.
3.
Syarat Biologis
Air tidak boleh mengandung Coliform.
Air yang mengandung golongan Coli dianggap telah terkontaminasi dengan
kotoran manusia (Sutrisno, 2004). Berdasarkan PERMENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990,
persyaratan bakteriologis air bersih adalah dilihat dari Coliform tinja
per 100 ml sampel air dengan kadar maksimum yang diperbolehkan adalah 50.
2.6.4.
Menggunakan Air Bersih
Penyakit
diare dapat ditularkan melalui makanan dan air yang tercemar oleh bakteri
pathogen. Keluarga dapat mengurangi resiko diare dengan menggunakan air bersih
yang tersedia dan melindunginya dari kontaminasi baik dari sumbernya maupun di
rumah. Sumber air bersih yang memenuhi syarat adalah paling sedikit jaraknya 10
meter dari sumber pencemar seperti penampungan air kotor, tempat pembuangan
sampah, jamban/ kakus. Menurut Depkes RI (2007), kegiatan yang dapat dilakukan
keluarga adalah:
1. Ambil air dari sumber air yang bersih.
2. Tempat penampungan air harus selalu
bersih.
3. Wadah penyimpanan air harus tertutup dan
sering dibersihkan.
4. Gayung pengambil air
juga harus bersih.
5. Masaklah air sampai mendidih sebelum
diminum.
6. Gunakan alat-alat
minum yang bersih.
2.7.
Menggunakan Jamban Sehat
Penyakit
diare dapat ditularkan melalui kotoran manusia, semua orang dalam keluarga
harus menggunakan jamban dan jamban harus dalam keadaan bersih agar terhindar
dari serangga yang dapat menularkan atau memindahkan penyakit pada makanan.
Penggunaan jamban yang sehat dan menjaga kebersihan jamban dapat menurunkan
resiko penyakit diare. Menurut Depkes RI (2007), jamban yang memenuhi syarat
adalah:
1. Kotoran tidak
mencemari permukaan tanah, air tanah dan air permukaan.
2. Cukup terang.
3. Tidak menjadi sarang serangga
(nyamuk, lalat, lipan, dan kecoa).
4. Selalu dibersihkan agar tidak
menimbulkan bau yang tidak sedap.
5. Cukup lobang angin.
6. Tidak menimbulkan kecelakaan.
Menurut
Depkes RI (2007), dalam menjaga jamban jamban tetap sehat dan bersih kegiatan
keluarga yang dapat dilakukan adalah:
1. Bersihkan dinding, lantai dan pintu ruang
jamban secara teratur.
2. Bersihkan jamban secara rutin.
3. Cuci dan bersihkan tempat duduk (jika ada)
dengan menggunakan sabun dan air bersih.
4. Perbaiki setiap celah, retak pada dinding,
lantai dan pintu.
5.
Jangan membuang sampah di lantai.
6. Selalu sediakan sabun untuk mencuci tangan.
7. Yakinkan bahwa ruangan jamban ada
ventilasinya.
8. Tutup lubang ventilasi jamban dengan kasa
anti lalat.
9. Beritahukan pada anak-anak cara menggunakan
jamban yang benar.
10. Cucilah tangan dengan sabun dan air
bersih yang mengalir setelah menggunakan jamban.
2.4 Cuci Tangan
Tangan
yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan hewan, ataupun cairan
tubuh lain seperti ingus dan air ludah dapat terkontaminasi oleh kuman-kuman
penyakit seperti bakteri, virus dan parasit yang dapat menempel pada permukaaan
kulit. Oleh karena itu tangan sangat berperan dalam penularan penyakit, khususnya
penyakit yang ditularkan melalui mulut, misalnya diare. Menurut Depkes (2009)
tangan akan bebas dari kuman penyakit apabila cuci tangan dengan baik dan benar.
2.4.1.
Pengertian Cuci Tangan Pakai Sabun dan Air Mengalir
Menurut
Depkes (2009) cuci tangan pakai sabun adalah salah satu tindakan sanitasi
dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh
manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan
dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Mencuci
tangan dengan air saja tidak cukup. Penggunaan sabun selain membantu singkatnya
waktu cuci tangan, dengan menggosok jemari dengan sabun menghilangkan kuman
yang tidak tampak minyak/ lemak/ kotoran di permukaan kulit, serta meninggalkan
bau wangi. Perpaduan kebersihan, bau wangi dan perasaan segar merupakan hal
positif yang diperoleh setelah menggunakan sabun.
2.4.2. Waktu
Yang Tepat Cuci Tangan
Menurut
Depkes (2009) waktu yang tepat untuk cuci tangan pakai sabun adalah:
1. Sebelum makan.
2. Sesudah membersihkan anak BAB.
3. Sebelum menyiapkan makanan.
4. Sebelum memegang bayi.
5. Sesudah buang air besar.
2.4.3. Cara Cuci
Tangan Yang Benar
Mencuci
tangan yang benar harus menggunakan sabun dan di bawah air yang mengalir.
Sedangkan menurut Depkes (2009) langkah-langkah teknik mencuci tangan yang
benar adalah sebagai berikut :
1. Basahi tangan dengan air di bawah kran atau
air mengalir.
2. Ambil sabun cair secukupnya untuk seluruh
tangan.
3. Gosokkan kedua telapak tangan. Gosokkan sampai
ke ujung jari.
4.
Telapak tangan kanan menggosok punggung tangan kiri (atau sebaliknya) dengan
jari-jari saling mengunci (berselang-seling) antara tangan kanan dan kiri.
Gosok sela-sela jari tersebut. Lakukan sebaliknya.
5. Letakkan punggung jari satu dengan punggung
jari lainnya dan saling mengunci.
6. Usapkan ibu jari tangan kanan dengan telapak
kiri dengan gerakan berputar. Lakukan hal yang sama dengan ibu jari tangan
kiri.
7. Gosok telapak tangan dengan punggung jari
tangan satunya dengan gerakan ke depan, ke belakang dan berputar. Lakukan
sebaliknya.
8. Pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan
kiri dan lakukan gerakan memutar. Lakukan pula untuk tangan kiri.
9. Bersihkan sabun dari kedua tangan dengan air
mengalir.
10.
Keringkan tangan dengan menggunakan tissue dan bila menggunakan kran, tutup
kran dengan tissue.
2.6. PHBS di Sekolah
2.6.1.
Pengertian
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) di Sekolah adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta
didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran sebagai
hasil pembelajaran, sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit,
meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan
sehat (Proverawati, 2012:21).
Ruang lingkup dan
tujuan UKS tidak lain mengarah pada praktik perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS) di sekolah. Karena terdiri dari sekumpulan perilaku yang dipraktikkan
oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah atas dasar kesadaran
sebagai hasil pembelajaran. Sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit,
meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan
sehat.
Munculnya berbagai
penyakit yang sering menyerang anak usia sekolah (6- 10 tahun), ternyata
umumnya berkaitan dengan PHBS. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai PHBS di
sekolah merupakan kebutuhan mutlak dan dapat dilakukan melalui pendekatan UKS.
2.6.2.
Indikator
PHBS di Sekolah
Menurut Maryuani (2013:151),
ada beberapa indikator yang dipakai sebagai ukuran untuk menilai PHBS di
sekolah atau kegiatan peserta didik dalam menerapkan PHBS di sekolah, antara
lain:
1.
Mencuci tangan dengan air yang mengalir dan
memekai sabun
2.
Mengonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah
3.
Menggunakan jamban yang bersih di sekolah
4.
Olahraga yang teratur dan terukur
5.
Memberantas jentik nyamuk
6.
Tidak merokok di sekolah
7.
Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan
setiap bulan
8.
Membuang sampah pada tempatnya
2.6.3.
Sasaran
PHBS di Sekolah
a.
Siswa
b.
Warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan
sekolah, komite sekolah dan orang tua siswa)
c.
Masyarakat lingkungan sekolah (penjaga kantin,
satpam, dll) (Proverawati, 2012:23)
2.6.4.
Manfaat
PHBS di Sekolah
1.
Terciptanya sekolah yang bersih dan sehat
sehingga siswa, guru dan masyarakat lingkungan sekolah terlindungi dari
berbagai gangguan dan ancaman penyakit.
2.
Meningkatkan semangat proses belajar mengajar
yang berdampak pada prestasi belajar siswa.
3.
Citra sekolah sebagai institusi pendidikan
semakin meningkat sehingga mampu menarik minat orang tua.
4.
Meningkatkan citra pemerintah di bidang
pendidikan.
5.
Menjadi percontohan sekolah sehat bagi daerah
lain (Proverawati, 2012:23).
2.6.5.
Alasan
Pentingnya PHBS untuk Anak Usia Sekolah
Menurut
Maryuani (2013:152), ada beberapa alasan pentingnya Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat diterapkan pada anak usia sekolah, antara lain:
1.
Anak usia sekolah termasuk kelompok masyarakat
yang mempunyai resiko tinggi.
2.
Anak usia sekolah adalah waktu yang paling
tepat untuk menanamkan pengertian dan kebiasaan hidup sehat.
3.
Anak sekolah merupakan kelompok terbesar dari
golongan anak-anak, terutama di negara yang mengenal wajib belajar.
4.
Sekolah adalah salah satu institusi masyarakat
yang telah terorganisir secara baik.
5.
Kesehatan anak usia sekolah akan menentukan
kesehatan masyarakat dan bangsa di masa depan.
2.6.6.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Rendahnya Pelaksanaan PHBS
Penyebab
rendahnya atau menurunnya pelaksanaan PHBS dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain:
a.
Faktor perilaku dan non perilaku fisik
b.
Faktor sosial ekonomi
c.
Faktor teknis
d.
Faktor geografi
e.
Faktor kurangnya upaya promotif tentang
kesehatan khususnya mengenai PHBS dari puskesmas dan instansi kesehatan lain
seperti puskesmas (Maryuani, 2013:154)
2.6.7.
Pembinaan
PHBS di Tatanan Sekolah
a.
Pembinaan PHBS di tatanan sekolah/ institusi
pendidikan dilaksanakan melalui kegiatan Usaha Kesehatan sekolah (UKS).
b.
Kegiatan Usaha Kesehatan sekolah (UKS) ini
terintegrasi dengan kegiatan pengembangan dan pembinaan Desa Siaga dan
Kelurahan Siaga Aktif.
c.
Tanggung jawab terendah pembinaan PHBS di
tatanan sekolah/ institusi pendidikan adalah di tingkat kabupaten/ kota (bukan
di tingkat kecamatan).
2.6.8.
Langkah-langkah Pembinaan PHBS di Sekolah
a.
Analisis Situasi
Penentuan kebijakan/pimpinan di sekolah melakukan pengajian ulang tentang
ada tidaknya kebijakan tentang PHBS di sekolah serta bagaimana sikap dan
perilaku khalayak sasaran (siswa, warga sekolah dan masyarakat lingkungan
sekolah) terhadap kebijakan PHBS di sekolah. Kajian ini untuk memperoleh data
sebagai dasar membuat kebijakan.
b.
Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Kebijakan PHBS di Sekolah
Pihak pimpinan sekolah mengajak bicara/ berdialog guru, komite
sekolah dan tim pelaksana atau Pembina UKS tentang:
1)
Maksud, tujuan, dan manfaat
penerapan PHBS di Sekolah
2)
Membahas rencana kebijakan
tentang penerapan PHBS di Sekolah
3)
Meminta masukan tentang
penerapan PHBS di Sekolah, antisipasi kendala dan sekaligus alternatif solusi,
menetapkan penanggungjawab PHBS di Sekolah dan mekanisme pengawasannya.
4)
Membahas cara sosialisasi
yang efektif bagi siswa, warga sekolah dan masyarakat sekolah.
5)
Pimpinan Sekolah membentuk
Kelompok Kerja Penyusunan Kebijakan PHBS di Sekolah.
9 Suplemen | 2011
c.
Penyiapan Infrastruktur
1)
Membuat surat keputusan
tentang penanggung jawab dan pengawasan PHBS di Sekolah.
2)
Instrumen pengawasan.
3)
Materi sosialisasi penerapan
PHBS di Sekolah.
4)
Pembuatan dan penempatan
pesan di tempat-tempat strategis di sekolah.
5)
Mekanisme dan saluran pesan
PHBS di Sekolah.
6)
Pelatihan bagi pengelola
PHBS di Sekolah.
d.
Sosialisasi penerapan PHBS di Sekolah
1)
Sosialisasi penerapan PHBS
di Sekolah di lingkungan internal sekolah.
2)
Sosialisasi tugas dan
penanggungjawab PHBS di Sekolah.
e.
Penerapan PHBS di Sekolah
1)
Menanamkan nilai-nilai untuk
ber-PHBS kepada siswa sesuai kurikulum yang berlaku.
2)
Menanamkan nilai-nilai untuk
ber-PHBS kepada siswa yag dilakukan di luar jam pelajaran biasa, seperti: kerja
bakti dan lomba kebersihan kelas, aktivitas kader kesehatan sekolah/ dokter
kecil, pemeliharaan jamban sekolah, pemeriksaan jentik nyamuk di sekolah, demo/
gerakan cuci tangan dan gosok gigi yang baik dan benar, pembudayaan olahraga
yang teratur dan terukur, pemeriksaan rutin kebersihan
kuku-rambut-telinga-gigi-dan sebagainya.
3)
Bimbingan hidup bersih dan
sehat melalui konseling.
4)
Kegiatan penyuluhan dan
latihan keterampilan dengan melibatkan peran aktif siswa, guru, dan orangtua,
antara lain melalui penyuluhan kelompok, pemutaran kaset radio/ film,
penempatan media poster, penyebaran leaflet dan membuat majalah dinding.
f.
Pemantauan dan Evaluasi
1)
Lakukan pemantauan dan
evaluasi secara periodik tentang kebijakan yang telah dilaksanakan.
2)
Minta pendapat Pokja PHBS di
Sekolah dan lakukan kajian terhadap masalah yang ditemukan.
3)
Putuskan apakah perlu
penyesuaian terhadap kebijakan.
g.
Dukungan dan Peran untuk Membina PHBS di Sekolah
Adanya kebijakan dan dukungan dari pengambil keputusan seperti
Bupati, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Dinas Kesehatan, DPRD, Lintas Sektor sangat
penting untuk pembinaan PHBS di sekolah demi terwujudnya sekolah sehat. Di
samping itu, peran dari berbagai pihak terkait (Tim Pembina dan Pelaksana UKS),
sedangkan masyarakat sekolah berpartisipasi dalam berperilaku hidup bersih dan
sehat baik di sekolah maupun di masyarakat. Semoga dengan UKS di setiap
sekolah, setiap peserta didik, guru dan masyarakat di sekitar sekolah dapat
menerapkan PHBS. Sehingga secara langsung dan tidak langsung mereka mampu
menjadi agen perubahan di tengah masyarakat di bidang kesehatan. Dengan
demikian, ke depan, kita dapat secara realistis mewujudkan generasi emas bangsa
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham,
Charles. 1997. Psikologi Sosial untuk
Perawat. Jakarta : EGC.
Maryuani,
Anik. 2013. Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS). Jakarta : Trans Info Media.
Niven,
Neil. 2002. Psikologi Kesehatan :
Pengantar untuk Perawat & Profesional Kesehatan Lain. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo,
Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Proverawati,
Atika dan Eni Rahmawati. 2012. Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Yogyakarta : Nuha Medika.
Puspita
Sari, Ratih. 2008. KTI tentang Hubungan
Lingkungan dengan Tuberculosis. Sidoarjo : Prodi S1 Keperawatan Poltekes.