BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Teori Lansia
2.1.1. Batasan Lansia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia
meliputi:
a. Usia
pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.
b. Lanjut
usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.
c. Lanjut
usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.
d. Usia
sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun.
2.1.2. Proses Menua
Pada hakekatnya menjadi tua
merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu
masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahapan ini
berbeda baik secara biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa tua berarti
mengalami kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik
ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran,
penglihatan menurun, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital,
sensitivitas emosional meningkat.
2.2.
Teori Kejiwaan Lansia
2.2.1.
Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Ketentuan akan meningkatnya pada
penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia
lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan
sosial. Ukuran optimum (pola hidup)
dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara
sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut
usia.
2.2.2.
Kepribadian Berlanjut
(Continuity Theory)
Dasar kepribadian atau tingkah laku
tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas.
Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang
lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personaliti yang dimiliki.
2.2.3
Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan
bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia
menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi
kehilangan ganda (triple loss), yakni:
·
Kehilangan Peran
·
Hambatan Kontak Sosial
·
Berkurangnya Kontak
Komitmen
2.3.
Teori Psikologi
2.3.1.
Teori Tugas Perkembangan
Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan
pada masa tua antara lain adalah:
a. Menyesuaikan
diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
b. Menyesuaikan
diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
c. Menyesuaikan
diri dengan kematian pasangan hidup
d. Membentuk
hubungan dengan orang-orang yang sebaya
e. Membentuk
pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
f. Menyesuaikan
diri dengan peran sosial secara luwes
Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula
tugas perkembangan yang spesifik yang dapat muncul sebagai akibat tuntutan:
a. Kematangan
fisik
b. Harapan
dan kebudayaan masyarakat
c. Nilai-nilai
pribadi individu dan aspirasi
Menurut
teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri, kebutuhan yang
memotivasi seluruh perilaku manusia (Maslow 1954).
2.3.2.
Teori Individual Jung
Carl Jung (1960) menyusun sebuah
teori perkembangan kepribadian dari seluruh fase kehidupan yaitu mulai dari
masa kanak-kanak, masa muda dan masa dewasa muda, usia pertengahan sampai
lansia. Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidaksadaran seorang dan ketidaksadaran
bersama. Menurut teori ini kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau kearah
subyektif. Pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan
antara kekuatan ini dapat dilihat pada setiap individu dan merupakan hal yang
paling penting bagi kesehatan mental.
2.3.3.
Teori Delapan Tingkat Kehidupan
Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat
adanya kondisi dimana kondisi psikologis mencapai pada tahap-tahap kehidupan
tertentu. Ericson (1950) yang telah mengidentifikasi tahap perubahan psikologis
(delapan tingkat kehidupan) menyatakan bahwa pada usia tua, tugas perkembangan
yang harus dijalani adalah untuk mencapai keeseimbangan hidup atau timbulnya
perasaan putus asa. Peck (1968) menguraikan lebih lanjut tentang teori
perkembangan Erikson dengan mengidentifikasi tugas penyelarasan integritas diri
dapat dipilih
dalam tiga tingkat yaitu : pada perbedaan ego terhadap peran pekerjaan
preokupasi, perubahan tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego
terhadap ego preokupasi.
Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan
preokupasi, tugas perkembangan yang harus dijalani oleh lansia adalah menerima
identitas diri sebagai orang tua dan mendapatkan dukungan yang adekuat dari
lingkungan untuk menghadapi adanya peran baru sebagai orang tua (preokupasi).
Adanya pensiun dan atau pelepasan pekerjaan merupakan hal yang dapat dirasakan
sebagai sesuatu yang menyakitkan dan dapat menyebabkan perasaan penurunan harga
diri dari orang tua tersebut.
2.4.
Teori Psikososial Lansia
2.4.1.
Definisi
Perkembangan psikososial lanjut
usia adalah tercapainya integritas diri yang utuh. Pemahaman terhadap makna
hidup secara keseluruhan membuat lansia berusaha menuntun generasi berikut
(anak dan cucunya) berdasarkan sudut pandangnya. Lansia yang tidak mencapai
integritas diri akan
merasa putus asa dan menyesali masa lalunya karena tidak merasakan hidupnya
bermakna (Anonim, 2006). Sedangkan menurut Erikson yang dikutip oleh Arya
(2010) perubahan psikososial lansia adalah perubahan yang meliputi pencapaian
keintiman, generatif dan integritas yang utuh.
2.4.2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Psikososial Lansia
Ada
beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan psikososial lansia
menurut Kuntjoro (2002), antara lain:
1.
Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia
umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda
(multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik
seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat
ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik,
psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap
menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan
fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada
usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang
lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur,
istirahat dan bekerja secara seimbang.
2.
Penurunan Fungsi dan Potensial Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut
usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti:
a. Gangguan
jantung
b. Gangguan
metabolisme, misal diabetes mellitus
c. Vaginitis
d. Baru
selesai operasi : misalnya prostatektomi
e. Kekurangan
gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang
f. Penggunaan
obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain:
a. Rasa
tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
b. Sikap
keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan
budaya .
c. Kelelahan
atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d. Pasangan
hidup telah meninggal
e. Disfungsi
seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya
cemas, depresi, pikun dsb.
3.
Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi
proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain
sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara
fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan
kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia
menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut,
lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan
kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5
tipe kepribadian lansia sebagai berikut:
1) Tipe
Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak
banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2) Tipe
Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan
mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan
kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya
3) Tipe
Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat
dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka
pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka
pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera
bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe
Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki
lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang
kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi
ekonominya menjadi morat-marit.
5) Tipe
Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya
terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau
cenderung membuat susah dirinya.
4.
Perubahan Yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali
ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia
dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering
diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi
setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya
seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Bagaimana menyiasati pensiun agar
tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung pada
sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada
menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan
hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah).
Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing
individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri
lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar
pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang
benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan
hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi
masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk
menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif.
Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat
dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing.
Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak
jenis dan macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung
terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping
pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup
menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa
setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang
dan sebagainya.
5.
Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera
pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan
fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi
bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya
sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan
selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih
sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan
terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan
kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung
diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis
bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai
permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi
orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota
keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut
membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi
mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang,
atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah
meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi
terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk
pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay
rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu
dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam
lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian
dalam masyarakat sebagai seorang lansia
2.5.
Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial
2.5.1.
Depresi
2.5.1.1.
Pengertian
Depresi merupakan satu masa
terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan
gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu rnakan,
psikomotor, konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta
gagasan bunuh diri (Kap'an dan Sadock, 1998). Depresi adalah suatu perasaan sedih
dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan
yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam (Nugroho,
2000). Menurut Hudak & Gallo (1996), gangguan depresi merupakan keluhan
umum pada lanjut usia dan merupakan penyebab tindakan bunuh diri.
Depresi adalah gangguan alam
perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah, rasa bersalah, putus
asa, perasaan kosong (Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii (1996;, depresi
adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai dengan
kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus
asa. Depresi adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang berkepanjangan
(Stuart dan Sundeen, 1998).
2.5.1.2.
Tanda Dan Gejala Depresi
Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut
Kelliat (1996) meliputi beberapa aspek seperti:
1. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan
perasaan, kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian,
harga diri rendah, kesedihan.
2. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung,
konstipasi, pusing, keletihan, gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid,
makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
3. Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri,
mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis,
ketidakpastian.
4. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat
aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas,
sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis,
dan menarik diri.
Menurut PPDGJ-III (Maslim,1997), tingkatan depresi
ada 3 berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:
1. Depresi
Ringan
Gejala :
a) Kehilangan
minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya
energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas.
c) Kosentrasi
dan perhatian yang kurang
d) Harga
diri dan kepercayaan diri yang kurang
2. Depresi
Sedang
Gejala :
a) Kehilangan
minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya
energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas.
c) Kosentrasi
dan perhatian yang kurang
d) Harga
diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan
masa depan yang suram dan pesimis
3. Depresi
Berat
Gejala :
a) Mood
depresif
b) Kehilangan
minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya
energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah
kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi
dan perhatian yang kurang
e) Gagasan
tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan
masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan
yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur
terganggu
i)
Disertai waham,
halusinasi
j)
Lamanya gejala tersebut
berlangsung selama 2 minggu
2.5.1.3.
Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia
Meskipun depresi banyak terjadi
dikalangan lansia,- depresi ini sering di diagnosis salah atau diabaikan.
Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi praktik dokter umum adalah mereka
dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak terdeteksi karena lansia lebih banyak
memfokuskan pada keluhan badaniah yang sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi
(Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007),
sejumlah faktor yang menyebabkan keadaan ini, mencakup fakta bahwa depresi pada
lansia dapat disamrkan atau tersamarkan oleh gangguan fisik lainnya (masked
depression). Selain itu isolasi sosial, sikap orang tua, penyangkalan
pengabaian terhadap proses penuaan
normal menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak tertanganinya gangguan ini.
Depresi pada orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya keluhan tidak
merasa berharga, sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa
kosong, tidak ada harapan, menuduh diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan
pemilihan diri yang kurang bahkan penelantaran diri (Wash, 1997).
Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi
pada lansia :
1. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia
yang menunjukkan gejala depresi. Pertama, individu yang mengalami depresi memiliki self-esteem yang sangat
rendah. Mereka berpikir tidak adekuat, tidak mampu, merasa dirinya tidak
berarti, merasa rendah diri dan merasa bersalah terhadap kegagalan yang
dialami. Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi masalah dan segala sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk
dan kepercayaan terhadap dirinya (self-confident) yang tidak adekuat. Ketiga,
memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani hidupnya, selalu meminta bantuan
dan melihat semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak ada gunanya
berusaha. Keempat, membesar-besarkan masalah dan selalu pesimistik menghadapi
masalah. Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat, performance intelektualnya
berkurang. Keenam, generalisasi dari gejala depresi, harga diri rendah,
pesimisme dan kurangnya motivasi.
2. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan ,
murung, sedih, putus asa, kehilangan semangat dan muram. Sering merasa
terisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Lansia yang mengalami depresi
menggambarkan dirinya berada dalam lubang gelap yang tidak dapat terjangkau dan
tidak dapat keluar dari sana.
3. Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami
depresi seperti pola tidur yang terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan
dorongan seksual yang berkurang. Lansia lebih rentan terhadap penyakit karena
sistem kekebalan tubuhnya melemah, selain karena aging proces juga karena orang
yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih yang kurang (Schleifer et
all, 1984 ; Samiun, 2006).
4. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan
adalah retardasi motor. Sering duduk dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa
ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar dan sering menghentikan
pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup untuk
menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut
Sadavoy et all (2004) gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu
gangguan pola tidur (sleep) pada lansia yang dapat berupa keluhan susah tidur,
mimpi buruk dan bangun dini dan tidak bisa tidur lagi, penurunan minat dan
aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa cepat
lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy), penurunan konsentrasi dan proses
pikir (concentration), nafsu makan menurun (appetite), gerakan lamban dan
sering duduk terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri
(suicidaly)
2.5.1.4.
Penyebab Depresi
Menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), faktor penyebab
depresi ialah :
A. Faktor
Predisposisi
1. Faktor
genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif melalui riwayat
keluarga dan keturunan.
2. Teori
agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan
marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
3. Teori
kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu dengan benda
atau yang sangat berarti.
4. Teori
organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang negatif dan
harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang
terhadap stressor.
5. Model
kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang di dominasi
oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sesorang, dunia seseorang dan masa
depan seseorang.
6. Model
ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ), menunjukkkan bukan
semata-mata trauma menyebabkan depresi tetapi keyakinan bahwa seseorang tidak
mempunyai kendali terhadap hasil yang
penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon yang tidak
adaptif.
7. Model
perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi penyebab
depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan
lingkungan.
8. Model
biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama depresi,
termasuk definisi katekolamin, disfungsi endokri, hipersekresi kortisol, dan
variasi periodik dalam irama biologis.
B. Stresor
Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan
gangguan alam perasaan ( depresi
) menurut Stuart dan Sundeen ( 1998 ), yaitu :
1. Kehilangan
keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan cinta seseorang,
fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual dan simbolik
melibatkan konsep kehilangan, maka persepsi seseorang merupakan hal sangat
penting.
2. Peristiwa
besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu episode
depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang dihadapi sekarang
dan kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran
dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan depresi,
terutama pada wanita.
4. Perubahan
fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit fisik. Seperti
infeski, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik, dapat mencentuskan gangguan
alam perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat anti hipertensi dan
penyalahgunaan zat yang menyebabkan kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang
melemahkan tubuh juga sering disertai depresi.
Menurut
Townsed (1998), penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi
(teori biologis terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori
psikososial terdiri dari psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori
kehilangan objek).
2.5.1.5.
Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi pada lansia merupakan
permasalahan kesehatan jiwa (mental health) yang serius dan kompleks, tidak
hanya dikarenakanaging process tetapi juga faktor lain yang saling terkait.
Sehingga dalam mencari penyebab depresi pada lansia harus dengan multiple
approach. Menurut Samiun (2006) ada 5 pendekatan yang dapat menjelaskan
terjadinya depresi pada lansia yaitu :
1. Pendekatan
Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah
kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman dan terlindung, keinginan untuk
dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut Hawari (1996), seseorang yang
kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of love object) dapat jatuh
dari kesedihan yang dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan orang yang
dicintai (terhadap suami atau istri yang meninggal), kehilangan
pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan orang itu mengalami
kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal, bersalah dan
seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam depresi.
Freud mengemukakan bahwa depresi
terjadi sebagai reaksi terhadap kehilangan. Perasaan sedih dan duka cita
sesudah kehilangan objek yang dicintai (loss of love object), tetapi seringkali
mengalami perasaan ambivalensi terhadap objek tersebut (mencintai tetapi marah dan benci karena telah
meninggalkan). Orang yang mengalami depresi percaya bahwa intropeksi merupakan
satu-satunya cara ego untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering mengritik,
marah dan menyalahkan diri karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997).
Depresi yang terjadi pada lanjut usia adalah dampak negatif kejadian penurunan
fungsi tubuh dan perubahan yang terjadi terutama perubahan psikososial.
Perubahan-perubahan tersebut diatas seringkali
menjadi stresor bagi lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis dan
biologis. Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang menarik
adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap
perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap
perubahan dan stres lingkungan sering
menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali
digunakan lansia yang mengalami depresi adalah strategi pasif (defence mcanism)
seperti menghindar, menolak, impian, displacement dan lain-lain (Coyne ett all, 1981 ; Samiun, 2006).
Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan sosial
(social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stresor.
Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang
cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (Billings, et all,
1983 ; Samiun , 2006).
2. Pendekatan
Perilaku Belajar
Salah satu hipotesis untuk
menjelaskan depresi pada lansia adalah individu yang kurang menerima hadiah
(reward) atau penghargaan dan hukuman (punishment) yang lebih banyak
dibandingkan individu yang idak depresi (Lewinsohn, 1974 ; Libet &
Lewinsohn, 1997 ; Samiun, 2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang
lebih banyak ini mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan,
kecenderungan memiliki self-esteem yang kurang dan mengembangkan self-concept
yang rendah. Hadiah dan hukuman bersumber dari lingkungan (orang-orang dan
peristiwa sekitar) dan dari diri sendiri. Situasi akan bertambah buruk jika
seseorang menilai hadiah yang diterima terlalu rendah dan hukuman yang diterima
terlalu tinggi terutama untuk tingkah laku mereka sendiri, sehingga
mengakibatkan ketidakseimbangan antara nilai reward dan punishment itu. Peran hadiah dan hukuman
terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan depresi (Rehm, 1997 ;
Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006).
Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari
hadiah dan hukuman adalah seseorang jika pindah ke tempat lain yang dapat
mengakibatkan kehilangan sumber-sumber hadiah dan perubahan dari tingkah laku
yang mendapat hadiah sehingga aktifitas yang sebelumnya dihadiahi menjadi tidak
berguna. Standar untuk hadiah dan hukuman yang meningkat menyebabkan
performansi yang diperlukan untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah
yang sebelumnya diterima dapat menyebabkan depresi apabila sumber
alternatif untuk mendapat hadiah tidak
ditemukan.
3. Pendekatan
Kognitif
Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun
(2006), seseorang yang mengalami depresikarena memiliki kemapanan kognitif yang
negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan diri sendiri, dunia
dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan pekerjaan
akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu
yang kebetulan dan tetap memikirkan
kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan memiliki
self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa depannya
suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia yang depresi adalah kurangnya
rasa percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri yang negatif
(Townsend, 1998).
Negative cognitive sets digunakan
individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya distorsi pemikiran dan
adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga menyebabkan
tingkat aktifitas berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu
menjadi tidak dapat mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan
merasa tidak berdaya (helplessness). Perasaan ketidakberdayaan ini yang
menyebabkan depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984; Samiun, 2006).
Menurut Kaplan et all (1997),
Interpretasi yang keliru (misinterpretation)
kognitif yang sering adalah melibatkan distorsi negative pengalaman hidup,
penilaian diri yang negative, pesimistis dan keputusasaan. Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang
dipelajari (learned helplessness)
tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman awal memberikan
dasar pemikiran diri yang negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh
orang tua, kritik yang terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan
kegagalan-kegagalan yang sering dialami individu (Beck, et al., 1979; Samiun,
2006).
4. Pendekatan
Humanistik – Eksitensial
Teori humanistic dan eksistensial
berpendapat bahwa depresi terjadi karena adanya ketidakcocokan antara reality self dan ideal self. Individu yang menyadari jurang yang dalam antara reality self dan ideal self dan tidak dapat dijangkau, sehingga menyerah dalam
kesedihan dan tidak berusaha mencapai aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang
penting terjadinya depresi. Individu merasa tidak ada lagi pilihan dan berhenti
hidup sebagai seeorang yang real.
Pada lansia yang gagal untuk bereksistensi diri menyadari bahwa mereka tidak
mau berada pada kondisinya sekarang yang mengalami perubahan dan kurang mampu
menyesuaikan diri, sehingga kehidupan fisik mereka segera berakhir. Kegagalan
bereksistensi ini merupakan suatu kematian simbolis sebagai seseorang yang real.
5. Pendekatan
Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa
depresi terjadi karena aktivitas neurologis yang rendah (neurotransmiter
norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi mengatur
kesenangan. Neurotransmitter ini memainkan peranan penting dalam fungsi
hypothalamus, seperti mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku
motor (Sachar, 1982; Samiun, 2006), sehingga seringkali seseorang yang
mengalami depresi disertai dengan keluhan-keluhan tersebut.
Pendekatan genetic terhadap
kejadian depresi dengan penelitian saudara kembar. Monozogotik Twins (MZ)
berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar
bersaudara (Dizigotik Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982;
Samiun, 2006). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi
itu diturunkan.
Menurut Mangoenprasodjo (2004),
depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang unik dari berkurangnya
interaksi social, kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri karena
penurunan kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta
kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan
factor biologis penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di otak. Perpaduan
ini sebagai factor terjadinya depresi pada lansia. Kompleksitasnya
perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga depresi pada lansia
dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.
2.5.1.6.
Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)
Depresi pada pasca kuasa adalah
perasaan sedih yang mendalam yang dialami seseorang setelah mengalami pension.
Salah satu factor penyebab depresi pada pasca kuasa adalah karena adanya
perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau kekuasaan ketika pension.
Meskipun tujuan ideal pension adalah agar para lansia dapat menikmati hati tua
atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya,
karena pension sering dirasakan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan,
jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2001). Menurut
Kuntioro (2002), reaksi setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung
dari model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa pension tidak merupakan
beban mental lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada sikap dan mental
individu dalam masa pensiun, dalam kenyataannya ada yang menerima ada yang takut
kehilangan ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua da nada juga yang
seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah). Masing-masing sikap tersebut
sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu baik positif maupun
negative. Dampak positif lebih menentramkan driri lansia dan dampak negative
akan mengganggu kesejahteraan hidup.
Secara umum peristiwa kehidupan
meliputi kehilangan harga diri, gangguan interpersonal, peristiwa social yang
tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan yang besar. Kejadian yang tidak
diinginkan juga sering menjadi factor presipitasi depresi. Kejadian di masa
lampau (perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih sering memperburuk gejal
kejiwaan, perubahan kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social dan
depresi (Stuart dan Larairam, 1998).
Menurut Hawari (1996) orang yang
mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai kekuasaan, wewenang, dan kekuatan
(power). Orang yang kehilangan
jabatan berarti orang yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless),
artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of love
object). Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya keseimbangan
mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan
terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan
perubahan sikap dan perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindroma
pasca kuasa (post power syndrome). Perubahan sikap dan perilaku tersebut
merupakan dampak atau keluhan psikososial dari orang yang baru kehilangan jabatan
atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan
berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat kini merasa lemah. Perubahan posisi
ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam perasaan pada
diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan
kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan tidak
terbuka maka keluhan psikososial inilah yang sering menampakan diri dalam
bentuk ucapan maupun sikap dan perilaku.
Keluhan-keluhan psikososial terjadi
disebabkan karena perubahan posisi yang mengakibatkan perubahan persepsi dari
diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di luar dirinya. Guna
menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang menggunakan mekanisme
defensive antara lain berupa makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka
terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap kondisi psikososial
sekelilingnya. Menurut Maramis (1995), bahwa stress psikologis terutama pada
jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan dan rasa bersalah yang menimbulkan
mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin pada sewaktu-waktu, hanya gejala
badaniah atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita harus
mengingat bahwa manusia itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa
seluruh manusia itu terlibat dalam hal ini.
Karena manusia bereaksi secara
holistic, maka depresi terdapat juga komponen psikologik dan komponen somatic.
Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistis, putus
asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas
lupa timbul pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah ialah penderita
kelihatan tidak senang, lelah tak bersemangat atau apatis, bicara dan
gerak-geriknya pelan dan kurang hidup, terdapat anoreksia (kadang-kadang makan
terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan
konstipasi.
2.5.1.7. Faktor-faktor yang menyebabkan
depresi pada lanjut usia
yang tinggal di Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal
dalam institusional seperti tinggal di panti wreda (Endah dkk, 2003) :
a. Faktor
Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat
penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup dan apa yang ingin
dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru, orang0orang
yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan merupakan stressor bagi
lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan motivasi lansia
untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan
kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.
Menurut Maramis (1995), pada lanjut
usia permasalah yang menarik adalah kekurangan kemampuan dalam beradaptasi
secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan
kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan sering
menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan
dukungan social (social support) yang
tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti bahwa
individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983;
Samiun, 2006).
Rasa kurang percaya diri atau tidak
berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah gagal karena harus
menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan
lansia memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga
mempengaruhi kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal
di institusi.
b. Faktor
Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang,
berkurangnya interaksi social dan dukungan social mengakibatkan penyesuaian
diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan keakraban dengan
keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat
menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi
dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi
membuat konflik bagi lansia antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan
karena kehilangan dukungan social yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
memelihara dan mempertahankan kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah
terjadi depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).
Kemampuan adaptasi dan lamanya
tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi. Sulit bagi lansia meninggalkan
tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan rumah tempat
tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi
merupakan pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan
pertalian persahabatan yang telah memberikan perasaan aman dan stabilitas
sehingga sering mengakibatkan lansia merasa kesepian dan kesendirian bahkan
kemeorosotan kesehatan dan depresi (Friedman, 1995).
Pekerjaan di waktu muda dulu yang
berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya yang hilang setelah memasuki
masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya gairah hidup,
kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki
peran penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami
penyesuaian diri dengan peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya
dan rendah diri (Rini, 2001).
c. Faktor
Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai
social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan lansia tersisihkan dan terbengkalai
tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk menaruhnya di panti
lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga (family system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi mengakibatkan
lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan
individualis menggangap lansia sebagai “trouble
maker” dan menjadi beban sehingga langkah penyelesainnya dengan menitipkan
di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk psikologisnya dan mempengaruhi
kesehatannya.
Tinggal di panti wreda harusnya
merupakan alternative yang terakhir bagi lansia, karena tinggal dalam keluarga
adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan keluarga yang
memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan
mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh
Friedman, 1998).
2.5.1.8.
Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi dapat mempengaruhi perilaku
dan aktivitas seseorang terhadap lingkungannya. Gejala depresi pada lansia
diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang termanifestasi. Jika
dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian dengan alat pengkajian
yang terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan memang dirancang
untuk diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling mudah digunakan untuk
diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh peneliti maupun praktisi
klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi
utama pada lanjut usia, dan memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak
memerlukan keterampilan khusus dari pengguna. Instrument GDS ini memiliki
sensitivitas 84 % dan specificity 95
%. Tes reliabilitas alat ini correlates
significantly of 0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin
pertanyaan dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS menggunakan
format laporan sederhana yang diisi sendiri dengan menjawab “ya” atau “tidak” setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu sekitar 5-10 menit
untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak mencakup
hal-hal somatic yang tidak berhubungan dengan pengukuran mood lainnya. Skor
0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan depresi ringan dan
skor 21-30 termasuk depresi sedang/berat yang membutuhkan rujukan guna
mendapatkan evaluasi psikiatrik terhadap depresi secara lebih rinci, karena GDS
hanya merupakan alat penapisan. Spesifikasi rancangan pernyataan perasaan
(mood) depresi seperti tabel berikut:
Table 5.1
Spesifikasi rancangan kuesioner GDS
Butir Soal
|
||
Parameter
|
Favorable
|
Unfavorable
|
Minat aktivitas
|
2, 12, 20, 28
|
27
|
Perasaan sedih
|
16, 25
|
9, 15, 19
|
Perasaan sepi dan bosan
|
3, 4
|
|
Perasaan tidak berdaya
|
10, 17, 24
|
|
Perasaan bersalah
|
6, 8, 11, 18, 23
|
1
|
Perhatian/konsentrasi
|
14, 26, 30
|
29
|
Semangat atau harapan terhadap masa
depan
|
13, 22
|
5, 7, 21
|
Skoring nilai 1 diberikan pada pernyataan Favorable
untuk jawaban “ya” dan nilai 0 untuk jawaban “tidak” sedangkan pernyataan Unfavorable,
jawaban “tidak” diberi nilai 1 dan jawaban “ya” diberi nilai 0.
Assasment
Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia
sebagai berikut:
No.
|
Pernyataan
|
Ya
|
Tidak
|
1.
|
Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa
puas dengan kehidupannya?
|
||
2.
|
Apakah bapak/ibu telah meninggalkan
banyak kegiatan atau kesenangan akhir-akhir ini?
|
||
3.
|
Apakah bapak/ibu sering merasa
hampa/kosong di dalam hidup ini?
|
||
4.
|
Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?
|
||
5.
|
Apakah bapak/ibu merasa mempunyai
harapan yang baik di masa depan?
|
||
6.
|
Apakah bapak/ibu merasa mempunyai
pikiran jelek yang menganggu terus menerus?
|
||
7.
|
Apakah bapak/ibu memiliki semangat
yang baik setiap saat?
|
||
8.
|
Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu
yang buruk akan terjadi pada anda?
|
||
9.
|
Apakah bapak/ibu merasa bahagia
sebagian besar waktu?
|
||
10
|
Apakah bapak/ibu sering merasa tidak
mampu berbuat apa-apa?
|
||
11.
|
Apakah bapak/ibu sering merasa resah
dan gelisah?
|
||
12.
|
Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal
dirumah daripada keluar dan mengerjakan sesuatu?
|
||
13.
|
Apakah bapak/ibu sering merasa
khawatir tentang masa depan?
|
||
14.
|
Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini
sering pelupa?
|
||
15.
|
Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup
bapak/ibu sekarang ini menyenangkan?
|
||
16.
|
Apakah bapak/ibu sering merasa sedih
dan putus asa?
|
||
17.
|
Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga
akhir-akhir ini?
|
||
18.
|
Apakah bapak/ibu sering merasa
khawatir tentang masa lalu?
|
||
19.
|
Apakah bapak/ibu merasa hidup ini
menggembirakan?
|
||
20
|
Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai
kegiatan yang baru?
|
||
21.
|
Apakah bapak/ibu merasa penuh
semangat?
|
||
22.
|
Apakah bapak/ibu merasa situasi
sekarang ini tidak ada harapan?
|
||
23.
|
Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang
lain lebih baik keadaannya daripada bapak/ibu?
|
||
24.
|
Apakah bapak/ibu sering marah karena
hal-hal yang sepele?
|
||
25.
|
Apakah bapak/ibu sering merasa ingin
menangis?
|
||
26.
|
Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?
|
||
27.
|
Apakah bapak/ibu merasa senang waktu
bangun tidur dipagi hari?
|
||
28.
|
Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul
di pertemuan social?
|
||
29.
|
Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat
sesuatu keputusan?
|
||
30.
|
Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap
mudah dalam memikirkan sesuatu seperti dulu?
|
2.5.1.9.
Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia
Dalam pendekatan pelayanan
kesehatan pada kelompok lanjut usia sangat perlu ditekannkan pendekatan yang
mencakup fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut karena
pendekatan daru satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada
lanjut usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif. Pendekatan
inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental health) disebut
pendekatan eclectic holistik, yaitu suatu pendekatan yang tidak tertuju
pada kondisi fisik saja, akan tetapi juga mencakup aspek psychological, psikososial,
spiritual dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik adalah
pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk meningkatan derajat kesehatan
lanjut usia, secara utuh dan menyeluruh (Hawari, 1996).
Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic
holistic approach, diantaranya:
1) Pendekatan
Psikodinamik
Focus pendekatan psikodinamik
adalah penanganan terhadap konflik-konflik yang berhubungan dengan kehilangan
dan stress. Upaya penanganan depresi dengan mengidentifikasi kehilangan dan
stress yang menyebabkan depresi, mengatasi, dan mengembangkan cara-cara
menghadapi kehilangan dan stressor dengan psikoterapi yang bertujuan untuk
memulihkan kepercayaan diri (self confidence) dan memperkuat ego. Menurut
Kaplan et all (1887), pendekatan ini tidak hanya untuk menghilangkan gejala,
tetapi juga untuk mendapatkan perubahan struktur dan karakter kepribadian yang
bertujuan untuk perbaikan kepercayaan pribadi, keintiman, mekanisme mengatasi
stressor, dan kemampuan untuk mengalami berbagai macam emosi.
Pendekatan keagaman (spiritual) dan
budaya sangat dianjurkan pada lansia. Pemikiran-pemikiran dari ajaran agama
apapun mengandung tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia ini manusia tidak
terbebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat
ditemukan dalam doa-doa yang paada intinya memohon kepada Tuhan agar dalam
kehidupan ini manusia diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di
dunia dan di akhirat (Hawari, 1996).
2) Pendekatan
Perilaku Belajar
Penghargaan atas diri yang kurang
akibat dari kurangnya hadiah dan berlebihannya hukuman atas diri dapat di atasi
dengan pendekatan perilaku belajar. Caranya dengan identifikasi aspek-aspek
leingkungan yang merupakan sumber hadiah dan hukuman. Kemudian diajarkan
keterampilan dan strategi baru untuk mengatasi, menghindari, atau mengurangi
pengalaman yang menghukum, seperti assertive training, latihan keterampilan
social, latihan relaksasi, dan latihan manajemen waktu. Usaha berkutnya adalah
peningkatan hadiah dalam hidup dengan self-reinforcement,
yang diberikan segera setelah tugas dapat diselesaikan.
Menurut Samiun (2006), ada tiga hal
yang p[erlu diperhatikan dalam pemberian hadiah dan hukuman, yaitu tugas dan
teknik yang diberikan terperinci dan spesifik untuk aspek hadiah dan hukuman
dari kehidupan tertentu dari individu. Teknik ini dapat untuk mengubah tingkah
laku supaya meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman, serta individu harus
diajarkan keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan hadiah dan mengurangi
hukuman.
3) Pendekatan
Kognitif
Pendekatan ini bertujuan untuk
mengubah pandangan dan pola pikit tentang keberhasilan masa lalu dan sekarang
dengan cara mengidentifikasi pemikiran negative yang mempengaruhi suasana hati
dan tingkah laku, menguji individu untuk menentukan apakah pemikirannya benar
dan menggantikan pikiran yang tidak tepat dengan yang lebih baik (Beck, et al,
1979; Samiun, 2006). Dasar dari pendekatan ini adalah kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk dari
rangkaian verbalisasi diri (self-talk)
terhadap peristiwa/pengalaman yang dialami yang menentukan emosi dan tingkah
laku diri.
Menurut Kaplan et all (1997), upaya
pendekatan ini adalah menghilangkan episode depresi dan mencegah rekuren dengan
membantu mengidentifikasi dan uji kognisi negative, mengembangkan cara berpikir
alternative, fleksibel dan positif, serta melatih respon kognitif dan perilaku
yang baru dan penguatan perilaku dan pemikiran yang positif.
4) Pendekatan
Humanistik Eksistensial
Tugas utama pendekatan ini adalah
membantu individu menyadari kebaradaannya didunia ini dengan memperluas
kesadaran diri, menemukan dirinya kembali dan bertanggung jawab terhadap arah
hidupnya. Dalam pendekatan ini, individu yang harus berusaha membuka pintu
menuju dirinya sendiri, melonggarkan belengu deterministic yang menyebabkan
terpenjara secara psikologis (Corey, 1993; Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi
alternative ini membuat pandangan menjadi real, individu menjadi sadar siapa
dia sebelumnya, sekarang dan lebih mempu menetapkan masa depan.
5) Pendekatan
Farmakologis
Dari berbagai jenis upaya untuk
gangguan depresi ini, maka terapi psikofarmaka (farmakoterapi) dengan obat anti
depresan merupakan pilihan alternative. Hasil terapi dengan obat anti depresan
adalah baik dengan dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.
2.5.2.
Berduka Cita
Kehilangan adalah
suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Periode
duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seorang penderita
lanjut usia. Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat atau bahkan
seekor hewan yang sangat disanyangi bias mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan
yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya akan memicu terjadinya
gangguan fisik dn kesehatannya. Periode 2 tahun pertama setelah ditinggal mati
pasangan hidup atau teman dekat tersebut merupakan periode yang sangat rawan.
Pada periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat
mengekspresikan dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong,
kemudian diikuti dengan menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi
akibat duka-cita pada usia lanjut biasanya tidak bersifat self limiting. Dokter atau petugas kesehatan harus memberi
kesempatan pada episode tersebut berlalu. Diperlukan pendamping yang dengan
penuh empati mendengarkan keluhan, memberikan hiburan dimana perlu dan tidak
membiarkan tiap episode berkepanjangan dan berjalan terlalu berat. Apabila
upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi berat, konsultasi psikiatrik
mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan.
2.5.3.
Kesepian
Kesepian atau loneliness, biasanya
dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau
teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami berbagai
penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat,
gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran
(Brocklehurts-Allen, 1987).
Harus dibedakan antara kesepian dengan
hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup sendiri tidak mengalami kesepian,
karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat lansia
yang walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh
mengalami kesepian.
Pada penderita kesepian ini peran
dari organisasi social sangat berarti, karena bias bertindak menghibur,
memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran social penderita, di samping
memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan di rumah bila memang terdapat
disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.
2.5.4.
Dementia
2.5.4.1. Pengertian
Demensia dapat diartikan sebagai
gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari.
Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa,
melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi
tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkahlaku.
Demensia adalah keadaan dimana
seseorang mengalami penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir, dan penurunan
kemampuan tersebut menimbulkan gangguan terhadap fungsi kehidupan sehari-hari.
Kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan kognitif, perubahan mood dan
tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari penderita.
2.5.4.2.
Etiologi
Penyebab demensia yang reversible sangat penting diketahui
karena pengobatan yang baik pada penderita dapat kembali menjalankan kehidupan
sehari-hari yang normal. Untuk mengingat berbagai keadaan tersebut telah dibuat
suatu “jembatan keledai” sebagai berikut:
D Drugs (obat)
Obat
sedative
Obat
penenang minor atau mayor
Obat
anti konvulsan
Obat
anti hipertensi
Obat
anti aritmia
E emotional (gangguan emosi, ex: depresi)
M metabolic dan endokrin
Seperti:
DM
Hipoglikemia
Gangguan
ginjal
Gangguan
hepar
Gangguan tiroid
Gangguan elektrolit
E Eye & Ear (disfungsi mata dan
telinga)
N Nutritional
Kekurangan
vit B6 (pellagra)
Kekurangan
vit B1 (sindrom wernicke)
Kekurangan
vut B12 (anemia pernisiosa)
Kekurangan asam folat
T Tumor dan Trauma
I Infeksi
Ensefalitis
oleh virus, contoh: herpes simplek
Bakteri,
contoh: pnemokok
TBC
Parasit
Fungus
Abses
otak
Neurosifilis
A Arterosklerosis (komplikasi peyakit
aterosklerosis, missal: infark miokard, gagal jantung, dan alkohol).
Keadaan yang secara potensial reversible atau yang
bias dihentikan seperti:
·
Intoksikasi (obat,
termasuk alkohol)
·
Infeksi susunan saraf
pusat
·
Gangguan metabolic
·
Gangguan vaskuler
(demensia multi-infark)
·
Lesi desak ruang:
·
Hematoma subdural
akut/kronis
·
Metastase neoplasma
·
Hidrosefalus yang
bertekanan normal
·
Depresi
(pseudo-demensia depresif)
Penyebab dari Demensia Non Reversible :
1. Penyakit
Degenerative
·
Penyakit Alzhemeir
·
Demensia yang
berhubungan dengan badan Lewy
·
Penyakit pick
·
Penyakit Huntingon
·
Kelumpuhan supranuklear
progresif
·
Penyakit Parkinson
2. Penyakit
Vaskuler
·
Penyakit
serebrovaskuler oklusif (demensia multi-infark)
·
Penyakit Binswanger
·
Embolisme serebral
·
Arteritis
·
Anoksia sekunder akibat
henti jantung, gagal jantung akibat intiksikasi karbon monoksida
3. Demensia
Traumatic
·
Perlukaan kranio-serebral
·
Demensia pugilistika
4. Infeksi
·
Sindrom defisiensi imun
dapatan (AIDS)
·
Infeksi opportunistic
·
Penyakit
creutzfeld-jacob progresif
·
Kokeonsefalopati multi
fokal progresif
·
Demensia pasca
ensefalitis
Sebagian besar peneliti dalam
risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala demensia adalah penyakit
Alzhemeir, penyakit vaskuler (pembuluh darah), demensia leury body, demensia
frontotemporer dan 10% diantaranya disebabkan oleh penyakit lain. Penyakit yang
dapat menyebabkan timbulnya gejala demensia ada 7S, sebagian dapat disembuhkan
dan sebagian besar tidak dapat disembuhkan. 50%-60% penyebab demensia adalah
penyakit Alzhemeir. Alzhemeir adalah kondisi dimana sel saraf pada otak mati
sehingga membuat signal dari otak tidak dapat ditransmisikan sebagaimana
mestinya.
2.5.4.3.
Karakteristik Demensia
Menurut John (1994) bahwa lansia
yang mengalami demensia juga akan mengalami keadaan yang sama seperti orang
depresi yaitu akan mengalami deficit aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS),
gejala yang sering menyertai demensia adalah :
A. Gejala
Awal
·
Kinerja mental menurun
·
Fatique
·
Mudah lupa
·
Gagal dalam tugas
B. Gejala
Lanjut
·
Gangguan kognitif
·
Gangguan afektif
·
Gangguan perilaku
C. Gejala
Umum
·
Mudah lupa
·
Aktivitas sehari-hari
terganggu
·
Disorientasi
·
Cepat marah
·
Kurang konsentrasi
·
Resti jatuh
2.5.4.4.
Klasifikasi Demensia
A. Dementia
Senilis
Kekurangan peredaran darah ke otak
serta pengurangan metabolism dan O2 yang menyertainya merupakan penyebab
kelainan anatomis di otak. Pada banyak orang terdapat kelainan aterosklerosis
seperti juga yang terdapat pada demensia senifilis, tetapi tidak diketemukan
gejal-gejal demensia. Otak mengecil terdapat suatu atrofi umum, terutama pada
daerah frontal. Yang penting ialah jumlah sel berkurang. Kadang-kadang ada
kelainan otak yang jelas, tetapi orang itu tidak psikotik, sebaliknya pada
orang yang sudah jelas demensia kadang-kadang ada sedikit kelaianan pada otak,
jadi tidak selalu ada korelasi antara besarnya kelainan histology dan beratnya
gangguan intelegensi.
1) Gejala
·
Biasanya sesudah umur 60
tahun baru timbul gejala-gejala yang jelas untuk membuat diagnose demensia
senilis. Penyakit jasmaniah atau gangguan emosi yang hebat dapat mempercepat
munduran mental.
·
Gangguan ingatan jangka
pendek, lupa tentang hal-hal yang baru terjadi, merupakan gejala dini, juga
kekurangan ide-ide dan gaya pemikiran abstrak. Yang menjadi egosentrik dan
egoistic, lekas tersinggung dan marah-marah. Kadang-kadang timbul aktivitas
seksual yang berlebihan atau yang tidak pantas, sesuatu tanda control berkurang
atau usaha untuk kompensasi psikologis.
·
Penderita menjadi acuh
tak acuh terhadap pakaian dan rupanya. Ia menyimpan barang-barang yang tidak
berguna, mungkin timbul waham bahwa ia akan dirampok, akan dirasuni atau ai
miskin sekali atau tidak disuka orang.
·
Orientasi terganggu dan
ia mungkin pergi dari rumah dan tidak mengetahui jalan pulang.
·
Penilaiannya berkurang
sehingga ia dapat menyukarkan dan menbahayakan lalu lintas dijalan.
·
Ia mungkin jadi korban
penjahat karena ia mudah diajak, umpamanya dalam hal penipuan dan sex.
·
Banyak menjadi gelisah
waktu malam, mereka berjalan-jalan tak bertujuan dan menjadi dekstruktif.
Mungkin timbul delirium waktu malam, ini karena penglihatan yang terbatas
diwaktu gelap bila penderita dengan demensia senilis ditaruh dalam kamar yang
gelap, maka akan timbul disorientasi.
·
Ingatan jangka pendek
makin lama makin keras terganggu, maka makin lama makin banyak ia lupa,
sehingga penderita hidup dalam alam pikiran sewaktu ia masih muda atau masih
kecil.
·
Gejala jasmani: kulit
menjadi tipis, keriput, dan atrofis, BB mengurang, atrofi pada otot-otot,
jalannya menjadi tidak stabil, suara kasar, dan bicaranya jadi pelan, dan
tremor pada tangan dan kepala.
·
Gejala psikologis:
sering hanya terdapat tanda kemunduran mental umum (demensia simplek). Tetapi
tidak jarang juga terjadi kebingungan dan delirium, atau depresi atau serta
agitasi. Ada yang menjadi paranoid. Pada presbiofrenia terutama dapat gangguan
ingatan serta konvabulasi dan dapat dianggap sebagai salah satu jenis demensia
senilis dan beberapa gejala yang menonjol dan sedikit lebih cepat.
2) Prognosa
Tidak baik, jalannya progresif, demensia makin lama
makin berat sehingga akhirnya penderita hidup secara vegetative saja, walaupun
demikian penderita dapat hidup selama 10 tahun atau lebih setelah gejala-gejala
menjadi nyata.
3) Diagnosa
Perlu dibedakan dari arteroskelorosa otak, tapi
kedua hal ini tidak jarang terjadi bersama-sama. Pada melankolia involusi tidak
didapat tanda-tanda demensia. Kadang-kadang sindroma otak organis sebab uremia,
anemia, payah jantung atau penyakit paru-paru dapat serupa dengan psikosa
senilis.
4) Pengobatan
·
Pertahankan perasaan
aman dan harga diri, perhatikanlah dan cobalah memuaskan kebutuhan rasa kasih
saying, rasa masuk hitungan, tercapainya sesuatu dan rasa penuh dibenarkan
serta dihargai.
·
Kamarnya jangan gelap
gulita dan taruhlah barang-barang yang sudah ia kenal sejak dulu untuk
mempermudah orientasinya.
B. Dementia
Presenilis
Seperti namanya, maka gangguan ini gejala utamanya
ialah seperti sebelum masa senile akan dibicarakan 2 macam demensia presenilis
yaitu:
1. Penyakit
Alzheimer
Penyakit Alzheimeir ini biasanya
timbul antara usia 50-60 tahun. Yang disebabkan oleh karena adanya degenerasi
kortek yang difus pada otak dilapisan luar, terutama di daerah frontal dan
temporal. Atrofi otak ini dapat dilihat pada pneumoensefalogam, system
ventrikel membesar serta banyak hawa diruang subarachnoid. Penyakit ini dimulai
pelan sekali, tidak ada ciri yang khas pada gangguan intelegensi atau pada
kelainan perilaku. Terdapat disorientasi, gangguan ingatan, emosi yang lebih,
kekeliruan dalam berhitung, dam pembicaraan sehari-hari dapat terjadi afasi,
perseverasi (mengulang-ngulang perkataan; perbuatan tanpa guna), pembicaraan
logoklonia (pengulangan tiap suku kata akhir secara tidak teratur), dan bila
sudah berat maka penderita tidak dapat dimengerti lagi. Ada yang jadi gelisah
dan hiperaktif.
Kadang-kadang sepintas lalu timbul
aproksia (kehilangan kecakapan yang diperoleh sebelumnya untuk melakukan
pekerjaan atau gerakan yang memerlukan keterampilan), hemiplegia tau pra plegi,
parese pada muka dan spasme pada ekstremitas juga sering terjadi sehingga pada
stadium akhir timbul kontraktur. Pada fase ini sudah sangant dement dan tidak
diadakan kotak dengannya lagi. Biasanya penyakit ini berlangsung selama 5-10
tahun.
2. Penyakit
Pick
Secara patologis penyakit ini ialah
atrofi dan gliosis di daerah-daerah asosiatif. Daerah motoric, sensorik, dan
daerah proyeksi secara relative dan banyak berubah. Yang terganggu ialah daerah
kortek yang secara filogenptik lebih mudah dan yang penting buat fungsi
asosiasi yang lebih tinggi. Sebab itu yang terutama terganggu ialah pembicaraan
dan proses berpikir.
Penyakit ini mungkin herediter,
diperkirakan terdapat factor menjadi pencetus dari sel-sel ganglion yang tertentu
yaitu: yang genetic paling muda. Lobus frontalis menjadi demikian atrofis
sehingga kadang kelihatan seperti ditekan oleh suatu lingkaran. Biasanya
terjadi pada umut 45-60 tahun, yang termuda yang pernah diberitakan ialah 31
tahun.
Penyakit Pick terdapat 2x lebih
banyak pada kaum wanita dari pad kaum pria. Gejala permulaan: ingatan
berkurang, kesukaran dalam pemikiran dan konsentrasi, kurang spontanitas, emosi
menjadi tumpul. Penderita menjadi acuh tak acuh, kadang-kadang tidak dapat
menyesuaikan diri serta menyelesaikan masalah dalam situasi yang baru.
Dalam waktu 1 tahun sudah terjadi
demensia yang jelas. Ada yang efor, ada yang jadi susah dan curiga. Sering
terdapat gejala fokal seperti afasia, aproksia, aleksia, tetapi gejala ini
sering diselubungi oleh demensia umum. Ciri afasia yang penting pada penyakit
ini ialah terjadinya secara pelan-pelan (tidak mendadak seperti pada gangguan
pembuluh darah otak), terdapatnya logorrhea yang spontan (yang tidak terdapat
pada afasia sebab gangguan pembuluh darah). Tidak jarang ada echolalia dan
reaksi stereotip.
Pada fase lanjut demensia menjadi
hebat, terdapat inkontinensia, kemampuan buat berbicara hilang dan kekeksia
yang berat. Biasanya penderita meninggal dalam waktu 4-6 tahun karena suatu
penyakit infeksi tambahan.
Smapai sekarang tidak ada
pengobatan terhadap kasus demensia presenilis. Dapat direncanakan bantuan yang
simptomatik dalam lingkungan yang memadai. Biar gelisah dapat dipertimbangkan
pemberian obat psikotropik.
2.5.4.5.
Pemeriksaan Demensia
Pemeriksaan penting yang harus
dilakukan untuk penderita, mulai dari pengkajian latar belakang individu,
pemeriksaan fisik, pengkajian status mental dan sebagai penunjang juga
diperlukan tes laboratorium.
1. Berikut
ini untuk menguji aspek-aspek Kognitif dan Fungsi Mental
Nilai Maksimum
|
Score
|
Pertanyaan
|
Orientasi
|
||
5
|
(tahun) (musim)
(tanggal) (hari) (bulan apa sekarang)
|
|
5
|
Dimana kita: (negara
bagian)(wilayah)(kota)(rumah sakit)(lantai)
|
|
Registrasi
|
||
3
|
Nama 3 objek: 1
detik untuk mangatakan masing-masing. Kemudian tanyakan klien ketiga objek
setelah anda mengatakannya. Beri 1 poin untuk setiap jawaban yang benar.
Kemudian ulangi sampai ia mempelajari ketiganya. Jumlahkan percobaan dan
catat.
|
|
Perhatian dan Kalkulasi
|
||
5
|
Seri
7’s. 1 poin untuk setiap kebenaran
Berhenti setelah 5
jawaban. Bergantian eja “kata” ke belakang.
|
|
Meminta
|
||
3
|
Minta
untuk mengulang ketiga objek di atas.
Berikan 1 poin untuk
setiap kebenaran.
|
|
Bahasa
|
||
9
|
Nama
pensil dan melihat (2poin)
Mengulangi hal
berikut: “task ada jika, dan atau tetapi”(1 poin)
|
|
Nilai Total
|
Compos mentis Apatis Somnolen Soporus Koma
Keterangan:
Nilai maksimal 30, nilai 21 atau kurang biasanya
indikasi adanya kerusakan kognitif yang memerlukan penyelidikan lanjut.
Kriteria demensia:
·
Ringan : 21 - 30
·
Sedang : 11 – 20
·
Berat : < 10
2. Pemeriksaan
Portabel untuk Status Mental (PPMS =
MMSE = mini mental state examination)
Daftar pertanyaan
|
Penilaian
|
1.
Tanggal
berapakah hari ini? (bulan, tahun)
2.
Hari
apakah ini?
3.
Apakah
nama tempat ini?
4.
Berapa
nomor telepon bapak/ibu? (bila tidak ada telepon, dijalan apakah rumah
bapak/ibu?)
5.
Berapakah
umur Bapak/Ibu?
6.
Kapan
Bapak/Ibu lahir? (tanggal, bulan, tahun)
7.
Siapakah
nama gubernur kita? (walikota/lurah/camat)
8.
Siapakah
nama gadis ibu anda?
9.
Hitung
mundur 3-3, mulai dari 20!
|
0-2
kesalahan = baik
3-4
kesalahan = gangguan intelek ringan
5-7
kesalahan = gangguan intelek sedang
8-10
kesalahan = gangguan intelek berat
·
Bila
penderita tak pernah sekolah, nilai kesalahan diperbolehkan +1 dari nilai di
atas.
·
Bila
penderita sekolah lebih dari SMA, kesalahan yang diperbolehkan -1 dari nilai
diatas.
|
2.5.4.6.
Penanganan Pasien Demensia
Tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan jika
menghadapi pasien demensia aialah sebagai berikut:
a. Terapi
obat dengan pengawasan dokter
b. Intervensi
non obat :
1. Intervensi
Lingkungan
·
Penyesuaian fisik
(bentuk ruangan, warna, alat yang tersedia).
·
Penyesuaian waktu
(membuat jadual rutin).
·
Penyesuaian lingkungan
malam hari (mandi air hangat, tidur teratur).
·
Penyesuaian indra
(mata, telinga).
·
Penyesuaian nutrisi
(makan makanan dengan gizi seimbang).
2. Intervensi
Perilaku
Wandering
·
Yakinkan dimana
keberadaan pasien.
·
Berikan keleluasaan
bergerak di dalam dan di luar rumah.
·
Gelang pengenal
“hendaya memory”.
Agitasi dan Agresifitas
·
Hindari situasi yang
memprovokasi
·
Hindari argumentasi
·
Sikap kita tenang dan
mantap
·
Alihkan perhatian kenal
lain
Sikap dan pertanyaan yang berulang
·
Tenang, dengarkan
dengan baik, jawab dengan penuh pengertian. Bila masih berulang, acuhkan dan
usahankan aluhkan ke hal yang menarik.
·
Perilaku seksual yang
tidak wajar/ sesuai
·
Tenang dan bombing
pasien keruang pribadinya
·
Alihkan ke hal yang
menarik perhatiannya
·
Bila didapatkan dalam
keadaan telanjang, berilah pakaian atau selimut untuk menutupi badannya. Bantu
mengenakan baju kembali.
3. Intervensi
Psikologis
·
Psiko terapi individual
·
Psiko terapi kelompok
·
Psiko terapi keluarga
4. Intervensi
untuk “care giver” (pengasuh) diperlukan :
·
Dukungan mental
·
Pengembangan kemampuan
adaptasi dan peningkatan
kemandirian
·
Kemampuan menerima
kenyataan
5. Intervensi
yang dilakukan untuk mengatasi mudah lupa :
·
Lakukan latihan
terus-menerus, berulang-ulang
·
Tingkatkan perhatian
·
Asosiasikan hal yang
diingat dengan hal yang sudah ada dalam otak
6. Aktivitas
Keagamaan
7. Mengembangkan
hobi yang ada seperti melukis, memasak, main music, berkebun, fotografi.
2.5.5.
SELF-ESTEEM Lanjut Usia
2.5.5.1.
Pengertian
Branden
(2001) mendefinisikan self-esteem
sebagai cara pandang individu terhadap dirinya, bagaimana seseorang menerima
dirinya dan menghargainya sebagai individu yang utuh. Nilai yang kita taruh atas
diri kita sendiri berdasar penilaian kita sejauhmana memenuhi harapan diri.
Harga diri yang tinggi merupakan nilai positif yang kita lekatkan pada diri
yang berakar dari penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan
kesalah, kekalahan dan kegagaln, tetapi
tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga (Dariuszky,
2004).
Self-esteem
adalah semua ide, pikiran, kepercayaan, dan pendirian yang diketahui individu
tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart
dan Sundeen, 1998). Termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuan,
interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan
pengalaman dan obyek, tujuan serta keinginan (Tarwoto & Wartonah, 2003).
Self-esteem dipelajari melalui kontak social dan pengalaman berhubungan dengan
orang lain. Pandagan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana
individu mengartikan pandangan orang lain tentang dirinya (Stuart dan Sunden,
1993; Kelliat, 1994).
Ideal self adalah persepsi individu tentang bagaimana ia
harus berperilaku sesuai dengan standar pribadi. Standar dapat berhubungan
dengan cita-cita, apa yang diinginkan dan nilai yang ingin dicapai. Ideal self akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan
norma social, keluarga dan budaya (Stuart dan Sunden, 1998).
2.5.5.2.
Self-Esteem Pada Lanjut Usia
Pada usia lanjut umumnya dorongan
dan kemauan masih kuat, akan tetapi kadang-kadang realisasinya tidak dapat
dilaksanakan, karena kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional
limitations), ketidakmampuan (disability),
dan keterhambatan (handicap) akibat
dari aging process. Keinginan yang tidak dapat dilaksanakan akibat keterbatasan
ini seringkali menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan diri lanjut usia (lack of self-confidence).
Menurut Dariuszky (2004), unsur
penting dalam pertumbuhan perasaan berguna dan selg-esteem seseorang adalah
pengakuan (approval). Pengakuan oleh
anak-anaknya dan orang lain sangat oenting bagi lansia, yang berarti ada
penerimaan dari orang lain tentang kondisi dan perubahan pada dirinya sebagai
individu. Penerimaan orang lain menimbulkan rasa aman, penerimaan diri (self-acceptance) dan peneguhan diri (self-affirmation) lansia sebagai
pribadi yang unik dan tetap terjaga eksistensinya. Apabila pengakuan dari orang
lain tidak didapatkan, maka lansia merasa tidak aman dan tidak dapat menerima
diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Lansia menjadi tidak percaya diri
(self-confident), selalu menanyakan
eksistensi dirinya, cenderung untuk menyalahkan diri dan memiliki self-esteem
yang rendah.
Hilangnya harga diri (lack of self-esteem) timbul akibat
kehilangan symbol-simbol self-esteem
yang mempengaruhi cara memandang dan menjalani kehidupan. Pada lansia
symbol-simbol self-esteem yang hilang
seperti status social, kekuasaan, peran dalam kehidupan, pekerjaan dan
nilai-nilai yang dianut (Dariuszky, 2004). Hilangnya symbol self-esteem ini mengakibatkan lansia
merasa tidak berguna, tidak berdaya, putus asa, kekecewaan, rasa sesal,
bersalah, dan mudah jatuh dalam depresi.
Menurut Maslow (Maramis, 2004), self-esteem merupakan salah satu
kebutuhan dari setiap individu yang harus dipenuhi untuk mencapai aktualisasi
diri sebagai puncak kebutuhan individu. Tetapi kebutuhan itu baru akan dicapai
apabila kebutuhan yang lebih dasar sudah terpenuhi, seperti kebutuhan biologis,
kebutuhan sandang, pangan dan papan, kebutuhan rasa aman dan nyaman, kebutuhan
kasih sayang.
Kebutuhan akan self-esteem
berpengaruh terhadap motivasi seseorang untuk beraktifitas dan kreatifitas
untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain untuk pencapaian kebutuhan yang
paling tinggi, yaitu kebutuhan aktualisasi diri.
2.5.5.3.
Karakteristik Self-Esteem
Self-esteem berpengaruh besar
terhadap kualitas dan kebahagian hidup seseorang (Dariuszky, 2004). Seseorang
yang memiliki Self-esteem yang tinggi akan merasa tenang, mantap, optimistis,
mampu mengendalikan situasi dirinya dan lebih mampu mengatasi masalah-masalah
dan kesulitan hidup. Sedangkan Self-esteem yang rendah sering menimbulkan
pesimistis dan mudah menyerah terhadap permasalahan yang dihadapi.
Seseorang yang mempunyai harga diri
tinggi akan memandang dirinya sebagai seseorang yang berarti dan bermanfaat. Ia
memandang dirinya sama dengan apa yang ia inginkan. Harga diri yang rendah
berhubungan dengan hubungan interpersonal yang buruk dan menonjol pada klien
skozofrenia dan depresi (Stuart dan Sundeen, 1998).
Dariuszky (2004) memberikan karakteristik individu
yang memiliki Self-esteem tinggi sebagai berikut:
1. Mempunyai
harapan yang positif dan realitis atas usahanya mapupun hasil dari usahanya.
2. Bersedia
mempertanggungjawabkan kegagalan maupun kesalahannya.
3. Memandang
dirinya sama dan sederajat dengan orang lain.
4. Cenderung
melakukan aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan dirinya.
5. Tidak
kuatir akan keselamatan hidupnya dan lebih berani mengambil resiko.
6. Mempunyai
bukti atau alas an yang kuat untuk menghargai dirinya sendiri atas keberhasilan
yang telah diraihnya.
7. Relative
puas dan bahagia dengan hidupnya dan kemampuannya cukup bagus dalam hal
penyesuaian diri.
Sedangkan ciri-ciri orang yang memiliki Self-esteem yang rendah menurut
Dariuszky (2004) adalah:
1. Sulit
menemukan hal-hal yang positif dalam tindakan yang mereka lakukan.
2. Cenderung
cemas mengenai hidupnya dan kurang berani mengambil resiko.
3. Kurang
menghargai keberhasilan yang mereka raih.
4. Mereka
terlalu peduli akan tanggungjawab atas kegagalan yang mereka perbuat dan
mencari alasan untuk membuktikan bahwa mereka salah.
5. Merasa
rendah diri ketika berhadapan dengan orang lain.
6. Tidak
termotivasi untuk memperbaiki dan menyempurnakan diri.
7. Merasa
kurang puas dan tidak bahagia dengan hidupnya, dan tidak mampu meyesuaikan
diri.
8. Pikiran
cenderung mudah terserang perasaan putus asa, depresi dan niat bunuh diri.
Tanda dan gejala gangguan Self-esteem menurut Carpenito (2001) sebagai berikut:
1. Pengungkapan
diri negative
2. Rasa
bersalah atau malu
3. Evaluasi
diri tidak mampu menangani kejadian
4. Menghindari
diskusi tentang topic dirinya
5. Merasionalisasi
penolakan/menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik negative
tentang diri
6. Ketidakmampuan
untuk menentukan tujuan
7. Ragu-ragu
untuk mencoba sesuatu yang baru
8. Hipersensitif
terhadap kritik ringan
9. Tanda
dari keresahan seperti marah, mudah tersinggung, keputusasaan, dan menangis
10. Mengingkari
masalah nyata
11. Perilaku
penyalahgunaan diri (pengerusakaan, usaha bunuh diri, penyalahgunaan zat, dan
menjadi korban)
12. Penampilan
tubuh buruk (postur, kontak mata, gerakan)
13. Merasionalisasi
kegagalan pribadi
Stuart dan Sudeen (1993); Keliat (1994),
mengemukakan 10 cara individu mengekspresikan secara langsung harga diri rendah
yaitu:
1. Mengejek
dn mengkritik pandagan negative tentang dirinya. Sering mengatakan dirinya
“bodoh”, “tidak tahu apa-apa” dan sikap negative terhadap dirinya.
2. Merendahkan/mengurangi
martabat diri
3. Menghindari,
mengabaikan atau menolak kemampuan yang nyata dimiliki dan merasa tidak mampu
melakukan apapun.
4. Rasa
bersalah dan khawatir
5. Individu
menolak diri dan menghukum diri sendiri, iritabel dan pesimis terhadap kehidupan.
Kadang timbul perasaan dirinya penting yang berlebih-lebihan. Dapat juga
ditemukan gejala fobia dan obsesi.
6. Manifestasi
fisik
7. Keluhan
tidak punya tenaga, cepat lelah, gejala psikosomatis, tekanan darah tinggi, dan
penyalahgunaan zat.
8. Menunda
keputusan
9. Sangat
ragu-ragu dalam mengambil keputusan, rasa aman terancam dan ketegangan peran.
10. Masalah
dalam berhubungan dengan orang lain
11. Menarik
diri dan isolasi social karena perasaan tidak berharga. Kadang menjadi kejam
dan mengeksploitasi orang lain.
12. Menarik
diri dari realitas
13. Kecemasan
karena penolakan diri mencapai tingkat berat atau panic, individu mungkin
mengalami gangguan asosiasi, halusinasi, curiga, cemburu dan paranoid.
14. Merusak
diri
15. Harga
diri yang rendah mendorong klien untuk mengakhiri kehidupan karena merasa tidak
berguna dan tidak ada harapan untuk hidup.
16. Merusak/melukai
orang lain
17. Kebencian
dan penolakan pada diri dapat dilampiaskan ke orang lain.
18. Kecemasan
dan takut
19. Kekhawatiran
menghadapi masa depan yang tidak jelas karena merasa tidak mampu menjalani
kehidupan. Pandangan hidup seiring terpolarisasi.
2.5.5.4.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Self-Esteem
Harga diri (Self-esteem) bukanlah suatu sifat bawaan ang tidak dapat diubah. Ia
diengaruhi oleh berbagai factor seperti suasana hati, kondisi kesehatan,
kehilangan sesuatu yang dicintai, kehilangan pekerjaan. Pension dan lain-lain.
Banyak orang yang tidak mampu mengatasi kondisi seprti itu dan jatuh dalam
kekalutan emosional dan tidak memiliki persepsi yang sehat mengenai dirinya
mauoun lingkungan eksternalnya, sehingga orang itu memiliki Self-esteem yang rendah (Dariuszky,
2004).
Menurut Stuart dan Sudeen (1993);
Keliat (1994), stressor yang mempengaruhi Self-esteem
adalah penolakan dan kurangnya penghargaan dari orang lain, persaingan,
kesalahan dan kegagalan yang berulang, cita-cita yang tidak dapat dicapai, ideal self yang tidak realistic dan
gagal bertanggungjawab terhadap diri.
Factor-faktor yang mempengaruhi Self-esteem menurut Carpenito (2001):
1) Patofisiologi
Berhubungan dengan perubahan penampilan, sekunder
akibat dari kehilngan citra tubuh, kehilangan fungsi tubuh dan bentuk badan
berubah akibat dari trauma, pembedahan, dan cacat lahir.
2) Situasional
(personal, lingkungan)
Berhubungan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan,
umpan balik, perasaan diabaikan sekunder akibat kemaitian orang terdekat.
Perasaan kegagalan/penurunan berat badan. Kegagalan disekolah, riwayat
ketidakefektifan hubungan dengan orang tua, riwayat penyalahgunaan zat,
penolakan orang tua, harapan yang tidak realistis dari orang tua, hukuman yang
tidak konsisten. Perasaan tidak berdaya dan/atau kegagalan sekunder akibat dari
institusional seperti penjara, rumah sakit jiwa, panti asuhan, dan rumah
penitipan.
3) Maturasional
Pada usia bayi dan usia bermain berhubungan dengan
kurangnya stimulasi dan kedekatan dengan orang tuanya, perpisahan dari orang
tua/orang terdekat, evaluasi negative yang terus menerus oleh orang tua,
ketidakadekuatan dukungan orang tua, dan ketidakmampuan untuk mempercayai orang
terdekat.
4) Sumber
eksternal dan internal
Kekuatan dan perkembangan pada individu sangat
berpengaruh terhadap Self-esteem. Pada
sumber internal, misalnya orang yang humoris koping individunya lebih efektif.
Sumber eksternal misalnya adanya dukungan dari masyarakat, dan ekonomi yang
kuat.
5) Pengalaman
sukses dan gagal
Ada kecenderungan bahwa riwayat sukses akan
meningkatkan Self-esteem seseorang,
dan frekuensi gagal yang sering mengakibatkan rendahnya Self-esteem.
2.6.
Tahap-tahap Asuhan Keperawatan Lansia
2.6.1.
Pengkajian
Proses
pengumpulan data untuk mengidentifikasi massalah keperawatan meliputi aspek
a. Fisik
·
Wawancara
·
Pemeriksaan fisik:
Head to Toe dan system tubuh
b. Psikologis
Pemeriksaan
psikologis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan Status Mental.
Pemeriksaan
status mental meliputi bagaimana penderita berpikir (proses pikir), merasakan
dan bertingkah laku selama pemeriksaan. Keadaan umum penderita adalah termasuk
penampilan, aktivitas psikomotorik, sikap terhadap pemeriksa dan aktifitas
bicara.
Gangguan
motorik, antara lain gaya
berjalan menyeret, posisi tubuh membungkuk, gerakan jari seperti memilin pil,
tremor dan asimetri tubuh perlu dicatat (Kaplan et al, 1997). Banyak penderita
depresi mungkin lambat dalam bicara dan gerakannya. Wajah seperti topeng
terdapat pada penderita penyakit Parkinson (Kaplan et al, 1997; Hamilton,
1985).
Bicara
penderita dalam keadaan teragitasi dan cemas mungkin tertekan. Keluar air mata
dan menangis ditemukan pada gangguan depresi dan gangguan kognitif, terutama
jika penderita merasa frustasi karena tidak mampu menjawab pertanyaan pemeriksa
(Weinberg, 1995; Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985). Adanya alat bantu dengar
atau indikasi lain bahwa penderita menderita gangguan pendegaran, misalnya
selalu minta pertanyaan diulang, harus dicatat (Gunadi, 1984).
Sikap
penderita pada pemeriksa untuk bekerjasama, curigaa, bertahan dan tak berterima
kasih dapat memberi petunjuk tentang kemungkinan adanya reaksi transferensi.
Penderita lanjut usia dapat bereaksi pada dokter muda seolah-olah dokter adalah
seorang tokoh yang lebih tua, tidak peduli, terhadap adanya perbedaan usia
(Weinberg, 1995; Laitman, 1990).
1. Gangguan Persepsi. Halusinasi
dan ilusi pada lanjut usia merupakan fenomena yang disebabkan oleh penurunan
ketajaman sensorik. Pemeriksa harus mencatat apakah penderita mengalami
kebingungan terhadap waktu atau tempat selama periode halusinasi. Adanya
kebingungan menyatakan suatu kindisi organic. Halusinasi dapat disebabkan oleh
tumor otak dan patologi fokal yang lain. Pemeriksaan yang lebih lanjut
siperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti (Hamilton, 1985).
2. Fungsi Visuospasial. Suatu
penurunan kapasitas visuospasial adalah normal dengan lanjutnya usia. Meminta
penderita untuk mencontoh gambar atau menggambar mungkin membantu dalam
penilaian. Pemeriksaan neuropsikologis harus dilaksanakan jika fungsi visuospasial sangat terganggu (Kaplan et al,
1997; Hamilton, 1985).
3. Proses Berpikir.
Gangguan pada progesi pikiran adalah neologisme, gado-gado kata,
sirkumstansialitas, asosiasi longgar, asosiasi bunyi, flight of ideas, dan
retardasi. Hilangnya kemampuan untuk dapat mengerti pikiran abstrak mungkin
merupakan tanda awal dementia.
4. Isi pikiran harus
diperiksa adanya obsesi, preokupasi somatic, kompulsi atau waham. Gagasan
tentang bunuh diri atau pembunuhan harus dicari. Pemeriksa harus menetukan
apakah terdapat waham dan bagaimana waham tersebut mempengaruhi kehidupan
penderita. Waham mungkin merupakan alas an untuk dirawat. Pasien yang sulit
mendengar mungkin secara keliru diklasifikasikan sebagai paranoid atau pencuriga
(Weinberg, 1995; Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985; Laitman, 1990).
5. Sensorium dan Kognisi. Sensorium
mempermasalahkan fungsi dari indra tertentu, sedangkan kognisi mempermasalahkan
informasi dan intelektual (Hamilton, 1985; Weinberg, 1995).
6. Kesadaran. Indicator
yang peka terhadap disfungsi otak adalah adanya perubahan kesadaran , adanya
fluktuasi tingkat kesadaran atau tampak letargik. Pada keadaan yang berat
penderita dalam keadaan somnolen atau stupor (Kaplan et al, 1997; Hamilton,
1985).
7. Orientasi. Gangguan
orientasi terhadap waktu, tempat dan orang berhubungan dengan gangguan kognisi.
Gangguan orientasi sering ditemukan pada gangguan kognitif, gangguan
kecemasan,. Gangguan buatan, gangguan konversi dan gangguan kepribadian,
terutama selama periode stress fisik atau lingkungan yang tidak mendukung
(Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985). Pemeriksa harus menguji orientasi
terhadap tempat dengan meminta penderita menggambar lokasi saat ini. Orientasi
terhadap orang mungkin dinilai dengan dua cara: apakah penderita, mengenali
namanya sendiri, dan apakah juga mengenali perawat dan dokter. Orientasi waktu
diuji dengan menanyakan tanggal, tahun, bulan dan hari.
8. Daya Ingat. Daya
ingat dinilai dalam hal daya ingat jangka panjang, pendek dan segera. Tes yang
siberikan pada penderita dengan memberikan angka enam digit dan penderita
diminta untuk mengulangi maju dan mundur. Penderita dengan daya ingat yang tak
terganggu biasanya dapat mengingat enam angka maju dan lima angka mundur. Daya
ingat jangka panjang diuji dengan menanyakan tempat dan tanggal lahir, nama dan
hari ulang tahun anak-anak penderita. Daya ingat jangka pendek dapat diperiksa
dengan beberapa cara, misalnya menyebut tiga benda pada awal wawancara dan
meminta penderita mengingat kembali benda tersebut diakhir wawancara. Atau
dengan mengulangi cerita tadi secara tepat/persis (Hamilton, 1985).
9. Fungsi Intelektual,
Konsentrasi, Informasi dan Kecerdasan. Sejumlah
fungsi intelektual mungkin diajukan untuk menilai pengetahuan umum dan fungsi
intelektual. Menghitung dapat diujikan dengan meminta penderita untuk
mengurangi 7 angka dari 100 dan mengurangi 7 lagi dari hasil akhir dan
seterusnya samapi dicapai angka 2. Pemeriksa mencatat respons sebagai dasar
untuk pengujian selanjutnya. Pemeriksa juga dapat meminta penderita untuk
menghitung mundur dari 20 ke 1, dan mencatat waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan pemeriksaan tersebut (Kaplan et al, 1997; Hamilton, 1985).
10. Pengetahuan umum adalah
yang berhubungan dengan kecerdasan.
Penderita ditanya nama presiden Indonesia, nama kota besar di Indonesia.
Pemeriksa harus memperhitungkan tingkat pendidikan penderitam status social
ekonomi dan pengalaman hidup penderita dalam menilai hasil dari beberapa
pengujian tersebut.
11. Membaca dan Menulis. Penting
bagi klinisi untuk memeriksa kemampuan membaca dan menulis dan menetukan apakah
penderita mempunyai deficit bicara khusus. Pemeriksa dapat meminta penderita
membaca kisah singkat dengan suara keras atau menulis pada penderita. Apakah
menulis dengan tangan kiri atau kanan juga perlu dicatat. (Hamilton, 1985).
12. Pertimbangan. Pertimbangan
(judgement) adalah kapasitas untuk
bertindak sesuai dengan berbagai situasi. Apakah penderita menunjukkan gangguan
pertimbangan, apa yang akan dilakukan oleh
penderita, misalnya jika ia menemukan surat tertutup, berperangko dan ada
alamatnya di jalan anu? Apa yang akan dilakukan oleh penderita bila ia mencium
bau asap di sebuah gedung bioskop? Apakah penderita mampu mengadakan pembedaan?
Apakah penderita mampu membedakan antara seorang kerdil dan seorang anak?
Mengapa seorang memerlukan KTP atau surat kawin? Dan seterusnya.
c. Spiritual
Agama
atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow, 1970) Lansia
makin matur dalam kehidupan keagamaanya , hal ini terlihat dalam berfikir dan
bertindak dalam sehari-hari (Murray dan Zentner, 1970). Perawat harus bias memberikan ketenangan dan
kepuasan batin dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutinya dalam
keadaan sakit atau mendeteksi kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual
bagi klien lanjut usia yang menghadapi kematian, DR. Tony Styobuhi mengemukakan
bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh
berbagai macam faktor, seperti ketidakpastian akan pengalaman selanjutnya,
adanya rasa sakit dan kegelisahan ngumpul lagi dengan keluarga dan lingkungan
sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberika
reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara menghadapi hidup ini.
Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat
harus dapat menyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi di tinggalkan,
masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu
menghantui pikiran lanjut usia. Umumny pada waktu kematian akan dating agama
atau kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali. Pada waktu
inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut
usia. Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya
terhadap fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien
lanjut usia melalui agama mereka.
2.6.2.
Diagnosa Keperawatan
1.
Kesepian berhubungan
dengan menarik diri
Tujuan :
1. Pasien mampu mengekspresikan perasaannya
2. Pasien mampu kembali bersosialisasi dengan
lingkungan
Intervensi
·
Bina
hubungan saling percaya
·
Bantu
klien menguraikan kelebihan dan kekurangan interpersonal.
·
Bantu
klien membina kembali hubungan interpersonal yang positf / adaptif dan
memberikan kepuasan timbal balik :
a)
Beri
penguatan dan kritikan yang positif
b)
Dengarkan
semua kata-kata klien dan jangan menyela saat klien bertanya.
c)
Berikan
penghargaan saat klien dapat berprilaku yang positif
d)
Hindari
ketergantungan klien
·
Libatkan
dalam kegiatan ruangan.
·
Ciptakan
lingkungan terapeutik
·
Libatkan
keluarga/system pendukung untuk membantu mengatasi masalah klien.
2.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan
dengan gangguan konsep diri dan depresi
Tujuan :
1)
Pasien mampu berpartisipasi dalam
memutuskan perawatan dirinya
2)
Pasien mampu melakukan kegiatan
dalam menyelesaikan masalahnya
Intervensi
·
Bicara secara langsung dengan klien,
hargai individu dan ruang pribadinya jika tepat
·
Beri kesempatan terstruktur bagi
klien untuk membuat pilihan perawatan
·
Beri kesempatan bagi pasien
untuk bertanggungjawab terhadap perawatan dirinya
·
Beri kesempatan menetapkan tujuan
perawatan dirinya. Contoh : minta pasien memilih apakah mau mandi, sikat gigi
atau gunting kuku.
·
Beri kesempatan untuk menetapkan
aktifitas perawatan diri untuk mencapai tujuan. Contoh : Jika pasien
memilih mandi, bantu pasien untuk menetapkan aktifitas untuk mandi (bawa sabun,
handuk, pakaian bersih)
·
Berikan pujian jika pasien dapat
melakukan kegiatannya.
·
Tanyakan perasaan pasien jika mampu
melakukan kegiatannya.
·
Sepakati jadwal pelaksanaan kegiatan
tersebut secara teratur.
·
Bersama keluarga memilih kemampuan
yang bisa dilakukan pasien saat ini
·
Anjurkan keluarga untuk memberikan
pujian terhadap kemampuan yang masih dimiliki pasien.
·
Anjurkan keluarga untuk membantu
pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.
·
Anjurkan keluarga memberikan pujian
jika pasien melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal kegiatan yang sudah dibuat.
3.
Gangguan pola tidur berhubungan
dengan ansietas
Tujuan :
1)
Pasien mampu mengidentifikasi
penyebab gangguan pola tidur
2)
Pasien mampu memenuhi kebutuhan
istirahat dan tidur
Intervensi
·
Identifikasi gangguan dan variasi
tidur yang dialami dari pola yang biasanya
·
Anjurkan latihan relaksasi, seperti
musik lembut sebelum tidur
·
Diskusikan cara-cara utuk memenuhi
kebutuhan tidur
·
Kurangi tidur pada siang hari
·
Minum air hangat/susu hangat sebelum
tidur
·
Hindarkan minum yang mengandung
kafein dan coca cola
·
Mandi air hangat sebelum tidur
·
Dengarkan musik yang lembut sebelum
tidur
·
Anjurkan pasien untuk memilih cara
yang sesuai dengan kebutuhannya)
·
Berikan pujian jika pasien memilih
cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tidurnya
·
Anjurkan keluarga untuk menciptakan
lingkungan yang tenang untuk memfasilitasi agar pasien dapat tidur.
4.
Resiko membahayakan diri berhubungan
dengan perasaan tidak
berharga dan putusasa
Tujuan :
1)
Pasien tidak membahayakan dirinya
sendiri
2)
Pasien mampu memilih
alternatif penyelesaian masalah yang konstruktif
Intervensi
·
Identifikasi derajat resiko /
potensi untuk bunuh diri
·
Bantu pasien mengenali perasaan yang
menjadi penyebab timbulnya ide bunuh diri.
·
Ajarkan beberapa alternatif cara
penyelesaian masalah yang konstruktif.
·
Bantu pasien untuk memilih cara yang
palin tepat untuk menyelesaikan masalah secara konstruktif.
·
Beri pujian terhadap pilihan yang
telah dibuat pasien dengan tepat.
·
Anjurkan pasien mengikuti kegiatan
kemasyarakatan yang ada di lingkungannya
·
Lakukan tindakan pencegahan bunuh
diri
·
Mendiskusikan dengan keluarga koping
positif yang pernah dimiliki klien dalam menyelesaikan masalah
5.
Harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif
sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan
:
1) Klien
merasa harga dirinya naik.
2) Klien
mengunakan koping yang adaptif.
3) Klien
menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi
·
Bina hubungan saling
percaya dan keterbukaan.
·
Maksimalkan partisipasi
klien dalam hubungan terapeutik.
·
Bantu klien menerima
perasaan dan pikirannya.
·
Bantu klien menjelaskan
konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui keterbukaan.
·
Berespon secara empati
dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
·
Mengeksplorasi respon
koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
·
Bantu klien
mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
·
Bantu klien untuk
melakukan tindakan yang penting untuk merubah respon maladaptif dan
mempertahankan respon koping yang adaptif.
·
Identifikasi dukungan
yang positif dengan mengaitkan terhadap kenyataan.
·
Berikan kesempatan
untuk menangis dan mengungkapkan perasaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar