PAGE

Minggu, 02 Juni 2013

terapi komplementer

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses penuaan merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu.
Pada hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.
Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis, spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia misalnya: stroke, asma, inkontinensia dan insomnia. Penuaan patologis dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis, atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh individu. Stres tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik.
Oleh karena itu diperlukannya pelaksanaan program terapi yang diperlukan suatu instrument atau parameter yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk menentukan program terapi selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali, dan apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan. Dalam keadaan ini maka upaya pencegahan berupa latihan-latihan atau terapi yang sesuai harus dilakukan secara rutin dan berkesinambungan.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana terapi komplementer dan medik pada lansia gangguan persarafan dengan hipertensi ?
2. Bagaimana terapi komplementer dan terapi medik pada lansia gangguan pernapasan dengan asma ?
3. Bagaimana terapi komplementer dan terapi medik pada lansia gangguan perkemihan dengan inkontinensia ?
4. Bagaimana terapi komplementer dan terapi medik pada lansia gangguan rasa nyaman dengan insomnia ?

1.3 Tujuan Masalah
1. Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengerti terapi komplementer dan terapi medik yang diberikan pada lansia gangguan persarafan dengan hipertensi.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengerti terapi komplementer dan terapi medik yang diberikan pada lansia gangguan pernapasan dengan asma.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengerti terapi komplementer dan terapi medik yang diberikan pada lansia gangguan perkemihan dengan inkontinensia.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengerti terapi komplementer dan terapi medik yang diberikan pada lansia gangguan rasa nyaman dengan insomnia.




BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep
Terapi komplementer banyak menggunakan dan mengacu pada efektivitas dari beberapa terapi (Snyder dan Lindquist, 1998). Florence Nightmgale menggambarkan penggunaan terapi komplementer, seperti music, di dalam perawatan holistis klien (Nightingale, 1860/1969).
Survey di Amerika Serikat menemukan bahwa 42% responden menggunakan satu atau lebih terapi komplementer (Eisenberg dkk, 1998). Penggunaan terapi komplementer meningkat hamper 10% berdasarkan hasil survey tahun 1990 (Eisenberg dkk, 1993). Terapi komplementer lebih popular di Eropa daripada di Amerika Serikat (Pelletier, 2000). Di Jerman penggunaan herbal merupakan bagian dari perawatan kesehatan. Hasil penelitian tentang obat herbal menunjukkan bahwa 70-90% dari terapi kesehatan di seluruh dunia menggunakan terapi komplementer secara rutin sebagai bagian perawatan kesehatan (Kreitzer dan Jensen, 2000).

2.2 Pengertian
Istilah terapi modalitas dalam ilmu keperawatan lebih dikenal dengan terapi komplementer, terapi alternative, terapi holistis, terapi nonbiomedis, pengobatan integrative atau perawatan kesehatan, perawatan nonpaliatif, dan perawatan nontradisional. Terapi modalitas merupakan metode pemberian terapi yang menggunakan kemampuan fisik atau elektrik. Terapi modalitas bertujuan untuk membantu proses penyembuhan dan mengurangi keluhan yang dialami oleh klien (Lundy dan Jenes, 2009). Terapi komplementer adalah istilah untuk terapi yang bukan bagian dari terapi medis konvensional.
Terapi komplementer atau terapi modalitas diakui sebagai upaya kesehatan nasional oleh National Center for Complementary/Alternative Medicine (NCCAM) di Amerika. Penggunaan istilah komplementer disebabkan karena pemakaian bersama terapi lain, bukan sebagai pengganti dan pengobatan biomedis. Terapi komplementer juga digunakan dalam praktek keperawatan professional sebagai terapi alternative di beberapa klinik perawatan, misalnya latihan relaksas otot progresif pada pnanganan klien dengan epilepsy yang menyertai penggunaan obat antiepilepsi. Studi menunjukkan bahwa penggunaan relaksasi otot progresif dapat meningkatkan control kejang (Whitman dkk., 1990). Namun demikian, terapi komplementer dapat digunakan mandiri atau tidak berhubungan dengan terapi biomedis karena diposisikan sebagai upaya promosi kesehatan, misalnya klien dipijat secara rutin untuk mencegah munculnya stress.
Terapi komplementer merupakan terapi holistis atau terapi nonbiomedis. Hasil penelitian tentang psikoneuroimunologi mengungkapkan bahwa proses interaktif pada manusia dengan tubuh, pikiran, dan interaksi social memengaruhi kesejahteraan seseorang. NCCAM menetapkan bahwa terapi komplementer secara garis besar didasarkan sebagai kategori terapi pikiran-tubuh (mind-body terapies). Sementara terapi biomedis lebh banyak memengaruhi seluruh tubuh dan berfokus pada dampak terapi terhadap pengobatan atau penanganan masalah fisik. Sebagai contoh, pada terapi biomedis, evaluasi efek obat antihipertensi hanya ditentukan melalui tekanan darah dan tidak memperhatikan bagaimana obat memengaruhi alam rohani dan psikologis.
NCCAM mendefinisikan terapi komplementer adalah suatu penyembuhan yang mencakup system kesehatan, modalitas, praktik dan teori, serta keyakinan dari masyarakat atau budaya dalam periode sejarah tertentu. CAM mencakup semua praktik serta ide-ide yang dimaknai sebagai upaya mencegah atau mengobati penyakit atau mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan.

2.3 Klasifikasi
Terdapat lebih dari 1800 terapi komplementer yang diidentifikasi berdasarkan sstem perawatan, terapi yang cukup dikenal luas dan digunakan, variasi dan terapi, praktik budaya asli yang tidak dikenal, dan mekanisme yang mendasar tindakan terapi yang tidak diketahui.
Kategori terapi komplementer menurut NCCAM adalah sebaga berikut :
1. Terapi pkiran-tubuh (mind-body therapies)
2. Terapi berbasis biologi (biologically based therapies)
3. Terapi manipulative dan berbasis tubuh (manipulative and body therapies)
4. Terapi energy yang termasuk dalam kategori energy hayati dan bioelektromagnetik (energy and biofield therapies).

Menurut NCCAM terapi komplementer menjadi pengobatan untuk kondisi tertentu dan merupakan bagian integral dari system pelayanan kesehatan termasuk profesi perawat.
Basis filosofis yang mendasari penggunaan terapi komplementer berbeda dengan model biomedis konvensional. Biomedis berusaha untuk menghilangkan dan memperbaiki etiologi atas masalah yang mendasari serta menekankan pada pengobatan trauma maupun situasi darurat lainnya (Well, 1995). Sementara tujuan terapi komplementer dalam sintesis keperawatan adalah untuk mencakup keselarasan dan keseimbangan dalam diri seseorang. Zollman dan Vickers (1999) menyatakan tujuan dari intervensi terapeutik adalah untuk mengembalikan keseimbangan dan memfasilitasi respon tubuh daripada penyembuhan proses penyakit atau penghentian gejala. Oleh karena itu, perawat memberikan perawatan yang mencakup modifikasi gaya hidup, perubahan diet, olahraga, pengobatan khusus, konseling, latihan, bimbingan pada pernapasan, relaksasi serta resep herbal. Konsep ini menekankan pentingnya system perawatan yang menerapkan pendekatan kepedulian secara holistis terhadap perawatan yang akan meningkatkan pelayanan kesehatan.

2.4 Penggunaan Terapi Komplementer
Factor yang mempengaruhi perkembangan atau penggunaan terapi komplementer (Astin, 1998; Kaptchuk dan Eisenberg, 1998; Jobst, 1998; Mitrdorf dkk., 1999) antara lain :
1. Adanya keyakinan bahwa terapi biomedis tidak menyentuh seluruh domain yang dimiliki individu.
2. Adanya efek obat biomedis yang dianggap lebih buruk daripada efek terapi yang diharapkan
3. Konsumen menginginkan penyedia layanan kesehatan yang peduli (caring)
4. Konsumen menginginkan pengakuan dan perlakuan secara utuh holistis
5. Konsumen menginginkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan menangani masalah kesehatan yang dihadapi
6. Factor lain yang telah meningkatkan penggunaan terapi komplementer adalah peningkatan pergeseran budaya yang menggunakan system perawatan kesehatan lain selain system biomedis.

Terapi komplementer sangat penting dalam perawatan klien dengan konsep kesehatan krons yang meliputi spiritual, social, psikologi, dan masalah fisik (Haynes, McKibbon, dan Kanani, 1996).

2.5 Jenis Kegiatan
a. Psikodrama
Bertujuan untuk mengekspresikan perasaan lansia. Tema dapat dipilih sesuai dengan masalah lansia.
b. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Terdiri atas 7-10 orang. Bertujuan untuk meningkatkan kebersamaan, bersosialisasi, bertukar pengalaman, dan mengubah perilaku. Untuk terlaksananya terapi ini dibutuhkan Leader, Co-Leader, dan fasilitator. Misalnya : cerdas cermat, tebak gambar, dan lain-lain.
c. Terapi Musik
Bertujuan untuk mengibur para lansia seningga meningkatkan gairah hidup dan dapat mengenang masa lalu. Misalnya : lagu-lagu kroncong, musik dengan gamelan.
d. Terapi Berkebun
Bertujuan untuk melatih kesabaran, kebersamaan, dan memanfaatkan waktu luang. Misalnya : penanaman kangkung, bayam, lombok, dll
e. Terapi dengan Binatang
Bertujuan untuk meningkatkan rasa kasih sayang dan mengisi hari-hari sepinya dengan bermain bersama binatang. Misalnya : mempunyai peliharaan kucing, ayam, dll.


f. Terapi Okupasi
Bertujuan untuk memanfaatkan waktu luang dan meningkatkan produktivitas dengan membuat atau menghasilkan karya dari bahan yang telah disediakan. Misalnya : membuat kipas, membuat keset, membuat sulak dari tali rafia, membuat bunga dari bahan yang mudah di dapat (pelepah pisang, sedotan, botol bekas, biji-bijian, dll), menjahit dari kain, merajut dari benang, kerja bakti (merapikan kamar, lemari, membersihkan lingkungan sekitar, menjemur kasur, dll).
g. Terapi Kognitif
Bertujuan agar daya ingat tidak menurun. Seperti menggadakan cerdas cermat, mengisi TTS, tebak – tebakan, puzzle, dll
h. Life Review Terapi
Bertujuan untuk meningkatkan gairah hidup dan harga diri dengan menceritakan pengalaman hidupnya. Misalnya : bercerita di masa mudanya
i. Rekreasi
Bertujuan untuk meningkatkan sosialisasi, gairah hidup, menurunkan rasa bosan, dan melihat pemandangan. Misalnya : mengikuti senam lansia, posyandu lansia, bersepeda, rekreasi ke kebun raya bersama keluarga, mengunjungi saudara, dll.
j. Terapi Keagamaan
Bertujuan untuk kebersamaan, persiapan menjelang kematian, dan meningkatkan rasa nyaman. Seperti menggadakan pengajian, kebaktian, sholat berjama’ah, dan lain-lain.
k. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi; tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya.
Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diidentifikasi dan kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap munculnya masalah tersebut digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan atau mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.
Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1 (perjanjian), fase 2 (kerja), dan fase 3 (terminasi). Di fase pertama perawat dan klien mengembangkan hubungan saling percaya, isu-isu keluarga diidentifikasi, dan tujuan terapi ditetapkan bersama. Kegiatan di fase kedua atau fase kerja adalah keluarga dengan dibantu oleh perawat sebagai terapis berusaha mengubah pola interaksi di antara anggota keluarga, meningkatkan kompetensi masing-masing individual anggota keluarga, eksplorasi batasan-batasan dalam keluarga, peraturan-peraturan yang selama ini ada. Terapi keluarga diakhiri di fase terminasi di mana keluarga akan melihat lagi proses yang selama ini dijalani untuk mencapai tujuan terapi, dan cara-cara mengatasi isu yang timbul. Keluarga juga diharapkan dapat mempertahankan perawatan yang berkesinambungan.

















BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Gangguan Persarafan pada Lansia dengan Hipertensi
3.1.1 Pengertian
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001). Menurut WHO (1978), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Pada usia lanjut patogenesis terjadinya hipertensi usia lanjut sedikit berbeda dengan yang terjadi pada dewasa muda. Faktor yang berperan pada usia lanjut terutama adalah :
1. Penurunan kadar renin karena menurunnya jumlah nefron akibat proses menua. Hali ini menyebabkan suatu sirkulus vitiosus : hipertensi glomerulo-sklerosis-hipertensi yang berlangsung terus menerus.
2. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Makin lanjutnya usia semakin sensitive terhadap peningkatan atau penurunan kadar natrium.
3. Peningkatan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer yang pada akhirnya akan mengakibatkan hipertensi sistolik saja.
4. Perubahan ateromatus akibat proses menua menyebabkan disfungsi endotel yang berlanjut pada pembentukan berbagai sitokin dan substansi kimiawi lain yang kemudian menyebabkan resorbsi natrium di tubulus ginjal, meningkatkan proses sclerosis pembuluh darah perifer dan keadaan lain yang berakibat pada kenaikan tekanan darah.

3.1.2 Terapi Komplementer
a. Senam
Senam dan aktifitas olahraga ringan tersebut sangat bermanfaat untuk menghambat proses degeneratif/penuaan. Senam ini sangat dianjurkan untuk mereka yang memasuki usia pralansia (45 thn) dan usia lansia (65 thn ke atas).
Senam lansia disamping memiliki dampak positif terhadap peningkatan fungsi organ tubuh juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur. Tingkat kebugaran dievaluasi dengan mengawasi kecepatan denyup jantung waktu istirahath yaitu kecepatan denyut nadi sewaktu istirahat. Jadi supaya lebih bugar, kncepatan denyut jantung sewaktu istirahat harus menurun (Poweell, 2000).
Tujuan senam lansia dengan hipertensi :
1. Melebarkan pembuluh darah
2. Tahanan pembuluh darah menurun
3. Berkurangnya hormon yg memacu peningkatan tekanan darah
4. Menurunkan lemak / kolesterol yang tinggi.

b. Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.

c. Khiropraktik
Terapi cara ini dlakukan melalui perbaikan pada ruas tulang belakang, terutama pada posisi tulang atlas leher. Perbaikan langsung terlihat pada terapi minggu pertama samapi dengan minggu kedelapan (The Journal of Human Hypertension). Terjadi penurunan rata-rata 17 mmHg untuk tekanan sisitolik dan 10 mmHg untuk tekanan diastolik, yang identik dengan hasil terapi yang dicapai dengan menggunakan dua macam obat anthipertensi. Cara pengobatan ini dilakukan dengan penekanan dan tarikan jari jemari tangan pada ruas tulang belakang tersebut atau dengan bantuan alat yang digetarkan oleh arus listrik. Tujuannya adalah memperbaki dan mengembalikan posisi tulang belakang atau ligament ke posisi normalnya. Tulang belakang sebagai pusat saraf motorik dan otonom berperan dalam timbulnya berbagai keluhan penyakit, termasuk hipertensi.
Sebelum terapi diberikan, pasien perlu ditanyakan mengenai gejala dan keluhan yang dialaminya, ada tidaknya tanda-tanda osteoporosis atau patah tulang dan riwayat trauma yang mencederai tulang punggung. Khiropraktik menjadi pilihan pengobatan alternative antara lank arena efek samping obat anthipertensi yang mengganggu atau semata-mata karena kebosanan pasien dengan penggunaan obat basa dan ngin mencoba cara lain.

3.1.3 Terapi Medik
a. Diuretic Tiazid
Diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada dosis tinggi.

b. Beta Blocker
Beta blocker memblok beta ‐ adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi reseptor beta ‐1 dan beta ‐2. Reseptor beta ‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta ‐2 banyak ditemukan di paru ‐ paru, pembuluh darah perifer, dan otot lurik. Reseptor beta ‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta ‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
Beta ‐ blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta ‐ blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta ‐1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta ‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hati‐hati. Beta ‐ blocker yang non selektif (misalnya propanolol) memblok reseptor beta ‐1 dan beta ‐2.
c. ACE Inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari precursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II merupakan vasokonstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan menurunkan tekanan darah. Jika system angiotensin rennin aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan lebih besar.
ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEii harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah.

d. Alpha – blocker
Alpha ‐ blocker (penghambat adrenoseptor alfa ‐1) memblok adrenoseptor alfa ‐1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.

3.2 Gangguan Pernapasan pada Lansia Dengan Asma
3.2.1 Asma
Penyakit asma berasal dari kata “asthma” yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernapas”. Asma adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronis saluran napas yang menyebabkan hiperresponsvitas jalan napas. Penyakit asma ditandai dengan 3 hal, antara lain penyempitan saluran napas, pembengkakan, dan sekresi lendir yang berlebih di saluran napas. Berdasarkan data Organisas Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pengidap asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan meningkat hingga 400 juta pada tahun 2025.
Penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Smeltzer, 2002 : 611). Asma adalah obstruksi jalan nafas yang bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus mengalami inflamasi/peradangan dan hiperresponsif. (Reeves, 2001 : 48).

3.2.2 Terapi Komplementer
a. Latihan Pernapasan
Terapi pernapasan pada penderita asma dilakukan dengan latihan pernapasan duduk dan pernapasan bergerak.
- Latihan pernapasan duduk
Latihan napas pada posisi duduk bagi penderita asma merupakan pengambilan posisi dengan tenang agar mencapai ketenangan yang mendalam, untuk memacu otak menjalankan fungsi secara maksimal karena otak merupakan komando tertinggi bagi tubuh. pelaksanaan, sebagai berikut :
a. Letakan kedua telapak tangan didepan dada, tarik napas perlahan-lahan dan diikuti tarikan kedua telapak tangan perlahan-lahan kesamping sampai otot dada terulur kebelakang lakukan sampai 7 kali.
b. Sama seperti diatas meletakan kedua telapak tangan didepan dada, tetapi dalam menarik napas dan menarik tangan repetisinya lebih cepat sekali tarik sekali frekuensi pernapasan.

- Latihan pernapasan bergerak
pengolahan pernapasan yang dilakukan bersamaan dengan melakukan gerak. Pada awal gerakan, napas ditarik sebanyak mungkin melalui hidung, kemudian ditekan dan ditahan dibawa perut sambil menggesek telapak kaki setengah lingkaran dengan gerakan memutar pada posisi tiap penjuru, seiring seirama dengan gerakan tangan. Kekhususan di dalam latihan pernapasan adalah: waktu mengeluarkan napas (ekspirasi) dikerjakan secara aktif, sedangkan sewaktu menarik napas, lebih banyak secara pasif. Mengeluarkan napas melalui mulut seperti sewaktu meniup lilin atau bersiul, pelan-pelan, dengan mengkempiskan dinding perut. Sewaktu inspirasi, dinding perut relaks (pasif) dan udara masuk ke paru-paru melalui hidung.

b. Teknik Pernapasan Buteyko
Teknik pernapasan Buteyko merupakan salah satu teknik olah napas yang bertujuan untuk menurunkan ventilasi alveolar terhadap hiperventilasi paru penderita asma (GINA, 2005). Teknik pernapasan Buteyko juga membantu menyeimbangkan kadar karbondioksida dalam darah sehingga pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin yang menghambat kelancaran oksigenasi dan efek Bohr pada penderita asma dapat dikurangi. Oksigenasi yang lancar akan menurunkan kejadian hipoksia, hiperventilasi dan apnea saat tidur pada penderita asma (Murphy, 2005).
Teknik pernapasan Buteyko juga diyakini dapat membantu mengurangi kesulitan bernapas pada penderita asma. Caranya adalah dengan menahan karbondioksida agar tidak hilang secara progresif akibat hiperventilasi. Sesuai dengan sifat karbondioksida yang mendilatasi pembuluh darah dan otot, maka dengan menjaga keseimbangan kadar karbondioksida dalam darah akan mengurangi terjadinya bronkospasme pada penderita asma (Kolb, 2009).
Tahapan persiapan dalam melakukan teknik pernapasan Buteyko terdiri dari pengukuran waktu lamanya menahan napas (control pause), konsentrasi dalam mengatur napas, relaksasi bahu, memantau aliran udara, bernapas dangkal dan latihan blok. Latihan teknik pernapasan Buteyko dilakukan satu kali sehari minimal selama seminggu (Casano, 2008).

3.2.3 Terapi Medik
a. Agonis beta-2
Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus melapangkan bronkus. Penggunaan agonis beta-2 tidak digunakan secara reguler, tapi hanya jika diperlukan (jika sesak). Contoh: Salbutamol 2mg/4mg (tab-syr-inh); Terbutalin 2,5mg (tab-syr-inh)


b. Kortikosteroid
Digunakan untuk 2 tujuan yaitu mengurangi inflamasi bronkus dan mengurangi hipersensitivitas bronkus. Digunakan secara reguler (long term). Digunakan untuk profilaktik maupun mengatasi serangan akut. Contoh: Beklometason 200mg ; Budesonida 200mcg.

c. Golongan Xanthine
Memberikan efek bronkodilatasi (pelebaran bronkus). Contoh: Teofilin 150mg ; Aminofilin = Teofilin 85% + Etilendiamin 15%.

d. Golongan antileukotrien
Leukotrien: merupakan mediator yang bersifat bronkokonstriktif memicu asma. Obat bekerja dengan cara menghambat efek bronkokonstriktif dari leukotrien. Contoh: Zafirlukast 20mg tab ; Zileuton 600mg tab.

3.3 Gangguan Perkemihan pada Lansia Dengan Inkontinensia
3.3.1 Pengertian
Inkontinensia urine bukan merupakan tanda – tanda normal penuaan. Inkontinensia urine selalu merupakan suatu gejala dari masalah yang mendasari. Jutaan lansia mengalami beberapa kehilangan kendali volunteer. Masalah kontinensia urinarius dibagi menjadi akut atau persisten dan dapat berkisar dari kehilangan control kandung kemih ringan sampai inkontinensia total. Inkotinensia akut terjadi secara tiba – tiba biasanya akibat dari penyakit akut. Sering terjadi pada individu yang dirawat di rumah sakit, inkontinensia akut biasanya hilang setelah penyakit sembuh. Inkontinensia akut juga dapat akibat dari obat, terapi, dan factor lingkungan. Inkontinensia persisten diklasifikasikan menjadi inkontinensia urgensi, inkontinensia stress, inkontinensia overflow, dan inkontinensia fungsional. Inkontinensia urine dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan endokrin, seperti hiperklasemia dan hiperglikemia. Keterbatasan mobilitas atau penyakit yang menyebabkan retensi urine dapat mencetuskan inkontinensia urine ata dapat akibat depresi pada lansia.

Manifestasi klinis adalah :
a. Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena telah mulai berkemih.
b. Desakan, frekuensi, dan nokturia.
c. Inkontinensia stress dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa, bersin, melompat, batuk atau membungkuk.
d. Inkontinensia overflow, dicirikan dengan volume dan aliran urine buruk atau lambat dan merasa menunda atau mengejan.
e. Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang adekuat.
f. Hiegiene buruk atau tanda – tanda infeksi.
g. Kandung kemih terletak di atas sifisis pubis.

3.3.2 Terapi Komplementer
a. Latihan Otot Dasar Panggul
Latihan ini bertujuan memperkuat sfingter kandung kemih dan otot dasar panggul, yaitu otot-otot yang berperan mengatur miksi. Latihan ini akan efektif jika dilakukan berulang-ulang untuk inkontinensia stress dan urgensi. Latihan otot dasar panggul yang terkenal adalah latihan Kegel berupa gerakan mengencangkan dan melemaskan kelompok otot panggul dan daerah genital. Latihan ini dilakukan dengan membayangkan seolah-olah Anda sedang miksi atau berdefekasi, tetapi kemudian otot panggul dikencangkan untuk menutup sfingter kandung kemih dan sfingter ani. Hal tersebut ditahan selama 3 detik dan langkah-langkah tersebut diulangi beberapa kali. Senam tersebut efektif untuk pasien inkontinensia stres, urgensi, atau campuran. Petunjuk dan arahan yang jelas diperlukan karena bila pelatihan dilakukan secara tidak tepat, inkontinensia dapat bertambah parah.

b. Stimulasi Listrik
Elektroda dimasukkan ke dalam rektum atau vagina untuk memacu dan memperkuat otot dasar panggul. Stimulasi ringan sudah cukup efektif pada inkontinensia dan inkontinensia urgensi, tetapi pendekatan ini memerlukan beberapa bulan dan kombinasi dengan modalitas pengobatan lain untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.

3.3.3 Terapi Medik
a. Antikolinergik
Obat ini menenangkan kandung kemih yang terlalu aktif sehingga berguna untuk inkontinensia urgensi. Beberapa obat yang termasuk dalam kategori ini adalah oxybutyin, tolterodin, darifenasin, solifenasin, dan trospium.

b. Estrogen topikal
Preparat hormon ini tersedia dalam bentuk salep atau krim vaginal untuk mengubah kondisi jaringan di daerah uretra atau vagina. Hal tersebut akan mengurangi beberapa gejala inkontinensia urine.

c. Imipramin
Obat ini sebenarnya merupakan suatu antidepresan trisiklik yang digunakan pada inkontinensia campuran (urgensi dan stres).

3.4 Gangguan Rasa Nyaman pada Lansia dengan Insomnia
3.4.1 Pengertian
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu insomnia inisial atau tidak dapat memulai tidur, insomnia intermitten atau tidak bisa mempertahankan tidur atau sering terjaga dan insomnia terminal atau bangun secara dini dan tidak dapat tidur kembali (Potter, 2005).
Untuk menyembuhkan insomnia, maka terlebih dahulu harus dikenali penyebabnya. Artinya, kalau disebabkan penyakit tertentu, maka untuk mengobatinya maka penyakitnya yang harus disembuhkan terlebih dahulu (Aman, 2005).
Insomnia dibagi menjadi beberapa tipe :
a. Tidak bisa masuk atau sulit masuk tidur yang disebut juga insomnia inisial dimana keadaan ini sering dijumpai pada orang-orang muda. Berlangsung selama 1-3 jam dan kemudian karena kelelahan ia bisa tertidur juga. Tipe insomnia ini bisa diartikan ketidakmampuan seseorang untuk tidur.
b. Terbangun tengah malam beberapa kali, tipe insomnia ini dapat masuk tidur dengan mudah, tetapi setelah 2-3 jam akan terbangun dan tertidur kembali, kejadian ini dapat terjadi berulang kali. Tipe insomnia ini disebut jaga intermitent insomnia.
c. Terbangun pada waktu pagi yang sangat dini disebut juga insomnia terminal, dimana pada tipe ini dapat tidur dengan mudah dan cukup nyenyak, tetapi pada saat dini hari sudah terbangun dan tidak dapat tidur lagi (Erry 2000)

3.4.2 Terapi Komplementer
a. Akupunktur
Akupunktur untuk sirkulasi darah yang buruk adalah metode membantu. Biasanya, sirkulasi darah yang buruk menyebabkan kronis, sakit kepala migrain dan mual. Dengan sirkulasi darah meningkat ditingkatkan dengan akupunktur, satu ini juga diuntungkan dengan kognisi tajam, konsentrasi lebih baik, tidur diperkaya, perasaan positif dan bersemangat tentang hidup dan juga mengembangkan nafsu makan yang sehat. Akupunktur sangat penting untuk mengobati insomnia, depresi, dan kecemasan. Akupunktur mengurangi energi diblokir di kapiler dan vena. Hal ini meningkatkan sinyal kompleks untuk otak, yang menghasilkan tidur santai dan tepat seperti kelancaran arus energi penyembuhan semua jenis depresi dan kecemasan yang sangat cepat.

b. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia. Terapi tingkah laku meliputi :
1. Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
2. Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.
3. Terapi kognitif
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur denganpemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konselingtatap muka atau dalam grup.
4. Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.
5. Restriksi Tidur
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan ditempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya

3.4.3 Terapi Medik
Pengobatan insomnia dibagi menjadi dua golonganyaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
a. Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti insomnia” yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting). Misalnya pada gangguan anxietas
b. Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi.
c. Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada gangguan stres psikososial.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Terapi komplementer banyak menggunakan dan mengacu pada efektivitas dari beberapa terapi (Snyder dan Lindquist, 1998). Florence Nightmgale menggambarkan penggunaan terapi komplementer, seperti music, di dalam perawatan holistis klien (Nightingale, 1860/1969).
Terapi komplementer untuk hipertensi yaitu : senam, teknik biofeedback, khiropraktik. Untuk terapi mediknya pada hipertensi yaitu : alpha blocker, diuretic tiazid, beta blocker, dan ACE Inhibitor.
Terapi komplementer untuk asma yaitu : latihan pernapasan dan teknik pernapasan buteyko. Untuk terapi medic pada asma yaitu : Agonis beta-2, Kortikosteroid, Golongan Xanthine, Golongan antileukotrien.
Terapi komplementer untuk inkontinensia urine adalah latihan otot dasar panggul dan stimulasi listrik. Terapi medic untuk inkontinnesia urine adalah Antikolinergik, Estrogen topikal, dan Imipramin.
Terapi komplementer untuk insomnia adalah akupunktur dan terapi tingkah laku. Terapi medic yang diberikan adalah Benzodiazepine dan non benzodiazepine.












DAFTAR PUSTAKA

Brooker, Chris. Ensiklopedia Keperawatan. 2008. Jakarta : EGC.
Vitahealth. Asma : informasi lengkap untuk penderita dan keluarganya. Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar